Tahun Berapa Candi Borobudur Dibangun
Borobudur | |
---|---|
ꦧꦫꦧꦸꦝꦸꦂ | |
![]() Bagian Arupadhatu dari Candi Borobudur |
|
Lokasi di Jawa Tampilkan peta Jawa
Borobudur (Indonesia) Tampilkan atlas Indonesia |
|
Informasi awam | |
Koordinat ilmu permukaan bumi |
7°36′29″S 110°12′14″E / 7.608°S 110.204°E / -7.608; 110.204 Koordinat: 7°36′29″S 110°12′14″E / 7.608°S 110.204°E / -7.608; 110.204 |
Afiliasi agama | Buddhisme |
Festival | Waisak |
Munisipalitas | Magelang |
Provinsi | Jawa Tengah |
Negara | Indonesia |
Status | Masih digunakan |
Kepemilikan | Negara Republik Indonesia |
Badan | Balai Proteksi Borobudur Pemerintah Indonesia cq InJourney |
Situs web |
peradaban |
Deskripsi arsitektur | |
Arsitek | Gunadharma (mitos) |
Tipe arsitektur | Candi |
Mode arsitektur | Limas bersusun dan stupa |
Penempatan godaan pertama | 770 M |
Rampung | 825 M |
Spesifikasi | |
Panjang | 123 meter (404 ft) |
Lebar | 123 meter (404 ft) |
Tinggi (maks) | 42 meter (138 ft) (dengan chattra) 35 meter (115 ft) (sonder chattra) |
Batu bersurat | Batu bertulis Sri Kahulunan |
Bulan-bulanan | Batu andesit |
Situs Pusaka Mayapada UNESCO |
|
Nama seremonial: Borobudur | |
Varietas | Budaya |
Kriteria | i, ii, vi |
Ditetapkan | 1991 |
No. referensi | 592 |
Kawasan | Asia-Pasifik |
![]() Acaram budaya Indonesia Borobudur |
|
Peringkat | Nasional |
Kategori | Kawasan |
No. Regnas | CB.29 |
Tanggal SK |
|
Pengelola | Balairung Pelestarian Borobudur TWC Indonesia Heritage Management Kabupaten Magelang |
Nama sebagaimana termaktub n domestik Sistem Registrasi Kewarganegaraan Agunan Budaya |
Candi Borobudur
(bahasa Jawa:
ꦕꦤ꧀ꦝꦶꦧꦫꦧꦸꦝꦸꦂ,
translit.
Candhi Båråbudhur
) adalah sebuah candi Buddha yang terletak di Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, Indonesia. Candi ini terdapat kurang makin 100 km di sebelah barat anak kunci Semarang, 86 km di jihat barat Surakarta, dan 40 km di arah barat laut Yogyakarta. Candi dengan banyak stupa ini didirikan oleh para penganut agama Buddha Mahayana sekitar tahun 800-an Kristen pada masa pemerintahan wangsa Syailendra. Borobudur adalah candi maupun kuil Buddha terbesar di mayapada,[1]
[2]
serempak salah satu monumen Buddha terbesar di dunia.[3]
Monumen ini terdiri atas heksa- teras berbentuk bujur sangkar yang di atasnya terdapat tiga jerambah bulat, pada dindingnya dihiasi dengan 2.672 panel tatahan dan aslinya terdapat 504 arca Buddha.[4]
Borobudur mempunyai kumpulan relief Buddha terlengkap dan terbanyak di bumi.[3]
Stupa penting terbesar teletak di paruh sambil memahkotai bangunan ini, dikelilingi oleh tiga barisan melingkar 72 stupa berlubang yang di dalamnya terdapat patung Buddha tengah duduk bersila dalam posisi padma konseptual dengan
mudra
(sikap tangan)
Dharmachakra mudra
(mengaduk roda dharma).
Monumen ini merupakan model pataka semesta dan dibangun sebagai medan tahir bikin memuliakan Buddha sekaligus berfungsi sebagai medan ziarah untuk menuntun umat manusia beralih dari alam nafsu duniawi menjurus pencerahan dan kebijaksanaan sesuai ajaran Buddha.[5]
Para petandang masuk melalui sisi timur dan memulai ritual di dasar candi dengan melanglang melingkari bangunan suci ini satu bahasa jarum jam, sambil terus mendaki ke undakan berikutnya melalui tiga tataran ranah intern kosmologi Buddha. Ketiga pangkat itu ialah
Kāmadhātu
(senyap hawa nafsu),
Rupadhatu
(ranah berwujud), dan
Arupadhatu
(sirep bukan berwujud). N domestik perjalanannya para pengunjung berjalan melalui serangkaian lorong dan tinggi dengan menyaksikan tak adv minim bermula 1.460 panel tatahan indah nan tertanam pada dinding dan pagar loneng.
Menurut bukti-bukti rekaman, Borobudur ditinggalkan pada abad ke-10 seiring dipindahnya pokok Kerajaan Mataram Kuno ke Jawa Timur oleh Pu Sindok.[6]
Bumi mulai mencatat keberadaan bangunan ini sejak ditemukan 1814 oleh Sir Thomas Stamford Raffles, nan detik itu menjabat sebagai Gubernur Jenderal Inggris atas Jawa. Sejak saat itu Borobudur telah mengalami serangkaian upaya penyelamatan dan pemugaran (perbaikan kembali). Antaran pemugaran terbesar digelar lega kurun hari 1975 hingga 1982 atas upaya Pemerintah Republik Indonesia dan UNESCO, kemudian situs bersejarah ini masuk kerumahtanggaan daftar Situs Warisan Dunia.[3]
Borobudur kini masih digunakan sebagai tempat ziarah keagamaan; tiap tahun umat Buddha yang datang berpangkal seluruh Indonesia dan mancanegara berkumpul di Borobudur bagi memperingati Trisuci Waisak. Terkait kepariwisataan, Borobudur ialah target wisata idiosinkratis di Indonesia yang paling banyak dikunjungi wisatawan.[7]
[8]
[9]
Pada 11 Februari 2022, pemerintah meresmikan status Candi Borobudur kembali sebagai gelanggang peribadatan umat Buddhis di Indonesia dan marcapada.[10]
Nama Borobudur
[sunting
|
sunting sumber]
Stupa Borobudur dengan jajaran perbukitan Menggarit. Sejauh berabad-abad bangunan kudrati ini luang terlupakan.
Dalam bahasa Indonesia, konstruksi religiositas zaman kuno disebut
candi; istilah
candi
juga digunakan secara lebih luas kerjakan merujuk kepada semua bangunan dahulu kala yang berasal terbit masa Hindu-Buddha di Nusantara, misalnya portal, gerbang, dan petirtaan (kolam dan pancuran pemandian). Radiks mula cap
Borobudur
tak jelas,[11]
meskipun memang nama ceria dari galibnya candi di Indonesia enggak diketahui.[11]
Merek Borobudur purwa kali ditulis dalam buku “Sejarah Pulau Jawa” karya Sir Thomas Stamford Raffles.[12]
Raffles menggambar mengenai monumen bernama
borobudur, akan semata-mata tidak ada dokumen nan lebih tua lontok yang menyebutkan jenama yang sama persis.[11]
Satu-satunya skenario Jawa kuno yang menjatah petunjuk mengenai adanya bangunan suci Buddha yang mungkin merujuk kepada Borobudur yakni Nagarakretagama, nan ditulis makanya Mpu Prapanca sreg 1365.[13]
Nama
Bore-Budur, yang kemudian ditulis
BoroBudur, kemungkinan ditulis Raffles internal nahu Inggris bakal menyebut desa terhampir dengan candi itu yaitu desa Bore (Boro); rata-rata
candi
memang sering kali dinamai berlandaskan desa tempat candi itu merembas. Raffles juga menyahajakan bahwa istilah ‘Budur’ mungkin berkaitan dengan istilah
Buda
intern bahasa Jawa yang bermakna “purba”– maka berharga, “Boro purba”.[11]
Akan sahaja arkeolog tidak beranggapan bahwa nama
Budur
berasal dari istilah
bhudhara
yang berarti gunung.[14]
Banyak teori nan berusaha menjelaskan etiket candi ini. Salah satunya menyatakan bahwa label ini kemungkinan berasal berpunca pembukaan
Sambharabhudhara, yaitu artinya “giri” (bhudara) di mana di lereng-lerengnya terletak teras-teras. Selain itu terwalak beberapa etimologi rakyat lainnya. Misalkan perkenalan awal
borobudur
bermula dari ucapan “para Buddha” nan karena pergeseran bunyi menjadi
borobudur. Penjelasan lain ialah bahwa nama ini berasal bersumber dua kata “bara” dan “beduhur”. Kata
bara
konon berasal terbit kata
vihara, temporer ada pula penjelasan bukan di mana
bara
berasal berusul bahasa Sanskerta nan artinya kompleks candi maupun biara dan
beduhur
artinya yaitu “tahapan”, atau mengingatkan dalam bahasa Bali yang bermanfaat “di atas”. Jadi maksudnya ialah sebuah biara atau pondokan yang berada di tanah tinggi.
Sejarawan J.G. de Casparis dalam disertasinya cak bagi mendapatkan gelar doktor pada 1950 berpendapat bahwa Borobudur adalah tempat deifikasi. Berdasarkan prasasti Karangtengah dan Tri Tepusan, Casparis mengandaikan pendiri Borobudur ialah raja Mataram dari wangsa Syailendra bernama Samaratungga, yang berbuat pembangunan sekeliling tahun 824 M. Bangunan raksasa itu baru dapat diselesaikan sreg masa putrinya, Ratu Pramudawardhani. Pembangunan Borobudur diperkirakan memakan tahun setengah abad. Dalam epigraf Karangtengah lagi disebutkan akan halnya penganugerahan persil
sima
(tanah bebas pajak) oleh Çrī Kahulunan (Pramudawardhani) untuk memelihara
Kamūlān
yang disebut
Bhūmisambhāra.[15]
Istilah
Kamūlān
sendiri terbit dari kata
mula
nan berarti kancah asal muasal, bangunan suci buat meluhurkan leluhur, kemungkinan leluhur semenjak wangsa Sailendra. Casparis memperkirakan bahwa
Bhūmi Sambhāra Bhudhāra
n domestik bahasa Sanskerta yang berarti “Ancala kumpulan dedikasi deka- tingkatan boddhisattwa”, merupakan logo zakiah Borobudur.[16]
Lingkungan sekitar
[sunting
|
sunting sumber]
Borobudur, Pawon, dan Mendut terbujur dalam satu garis verbatim nan menunjukan keesaan perlambang
Terdapat sekitar 40 kilometer (25 mihun) barat laut bersumber Kota Yogyakarta, Borobudur terletak di atas dolok sreg dataran yang dikeliling dua pasang giri kembar; Argo Sindoro-Cempeng di sebelah barat laut dan Merbabu-Merapi di jihat timur laut, di sebelah utaranya terdapat Dolok Tidar, lebih akrab di sebelah selatan terdapat jajaran perbukitan Menoreh, serta candi ini terletak damping perjumpaan dua bengawan yaitu Batang air Progo dan Sungai Elo di arah timur. Menurut legenda Jawa, daerah yang dikenal sebagai Dataran Kedu merupakan bekas nan dianggap ikhlas dalam kepercayaan Jawa dan disanjung sebagai ‘Yojana pulau Jawa’ karena keindahan alam dan kesuburan tanahnya.[17]
Tiga candi seronce
[sunting
|
sunting perigi]
Selain Borobudur, terwalak beberapa candi Buddha dan Hindu di kewedanan ini. Puas waktu invensi dan pemugaran di semula abad ke-20 ditemukan candi Buddha lainnya yaitu Candi Mendut dan Candi Pawon yang terbujur membentang dalam satu garis harfiah.[18]
Awalnya diduga hanya suatu kebetulan, akan tetapi beralaskan khayalan pemukim setempat, terlampau terletak jalan berkelebek bisikan yang dipagari gerogol loneng di kedua sisinya nan menghubungkan ketiga candi ini. Lain ditemukan bukti fisik adanya jalan raya beralas batu dan berpagar dan mungkin ini hanya dongeng saja, akan namun para pakar menduga memang cak semau kesatuan tanda-tanda mulai sejak ketiga candi ini. Ketiga candi ini (Borobudur-Pawon-Mendut) memiliki pertepatan langgam arsitektur dan ragam hiasnya dan memang berpokok dari periode yang sama nan memperkuat dugaan adanya keterkaitan ritual antar ketiga candi ini. Keterkaitan asli pasti cak semau, akan tetapi bagaimanakah proses ritual religiositas ziarah dilakukan, belum diketahui secara pasti.[13]
Selain Candi Mendut dan Pawon, di seputar Borobudur juga ditemukan bilang pusaka purbakala lainnya, di antaranya beraneka ragam temuan tembikar seperti belanga dan kendi yang menunjukkan bahwa di selingkung Borobudur dulu terwalak beberapa wilayah hunian. Temuan-temuan zaman kuno di selingkung Borobudur saat ini disimpan di Museum Karmawibhangga Borobudur, yang terletak di arah utara candi bersebelahan dengan Museum Raksasa Raksa. Lain seberapa jauh di arah utara Candi Pawon ditemukan reruntuhan bekas candi Hindu yang disebut Candi Banon. Puas candi ini ditemukan beberapa patung dewa-dewa utama Hindu n domestik keadaan cukup baik adalah Shiwa, Wishnu, Brahma, serta Ganesha. Akan cuma batu nirmala Candi Banon amat sedikit ditemukan sehingga tak boleh jadi dilakukan pemulihan. Kapan penemuannya arca-arca Banon diangkut ke Batavia (kini Jakarta) dan kini disimpan di Museum Nasional Indonesia.
Telaga purba
[sunting
|
sunting sumber]
Borobudur di tengah kehijauan alam ceduk Kedu. Diduga dulu kawasan di sekeliling Borobudur adalah haud purba.
Tidak seperti candi lainnya nan dibangun di atas tanah datar, Borobudur dibangun di atas dolok dengan ketinggian 265 m (869 ft) berusul satah laut dan 15 m (49 ft) di atas pangkal danau purba yang telah mengering.[19]
Keberadaan situ purba ini menjadi mangsa perdebatan nan hangat di kalangan arkeolog pada abad ke-20; dan menimbulkan postulat bahwa Borobudur dibangun di tepi atau terlebih di tengah danau. Lega tahun 1931, sendiri seniman dan pandai arsitektur Hindu Buddha, W.Ozon.J. Nieuwenkamp, mengajukan teori bahwa Dataran Kedu dulunya adalah sebuah danau, dan Borobudur dibangun melambangkan anakan runjung yang mengapung di atas permukaan danau.[14]
Bunga teratai baik dalam bentuk
padma
(runjung merah),
utpala
(runjung biru), ataupun
kumuda
(teratai putih) boleh ditemukan dalam semua ikonografi seni keagamaan Buddha. berkali-kali digenggam oleh Boddhisatwa sebagai
laksana
(lambang regalia), menjadi wana duduk singgasana Buddha atau laksana ganjal stupa. Bentuk arsitektur Borobudur koteng menyerupai bunga lotus, dan postur Budha di Borobudur melambangkan Sutra Teratai nan galibnya ditemui privat naskah keimanan Buddha mahzab Mahayana (distribusi Buddha yang kemudian menyebar ke Asia Timur). Tiga pelataran melingkar di puncak Borobudur juga diduga melambangkan pelupuk bunga lotus.[19]
Akan doang teori Nieuwenkamp yang terdengar asing sahih dan fantastis ini banyak menuai bantahan berpunca para arkeolog. sreg daratan di sekitar monumen ini telah ditemukan bukti-bukti ilmu purbakala yang membuktikan bahwa negeri sekitar Borobudur pada perian pembangunan candi ini adalah daratan sangar, tidak sumber akar danau purba.
Sementara itu tukang geologi tambahan pula kondusif pandangan Nieuwenkamp dengan menunjukkan bukti adanya endapan deposit lumpur di dekat situs ini.[20]
Sebuah penelitian stratigrafi, sedimen dan analisis sampel serbuk sari yang dilakukan tahun 2000 mendukung keberadaan danau purba di lingkungan sekeliling Borobudur,[19]
nan mempererat gagasan Nieuwenkamp. Izzah permukaan danau purba ini naik-turun berubah-ganti berpokok masa ke waktu, dan bukti menunjukkan bahwa dasar bukit dekat Borobudur pernah kembali tenggelam air dan menjadi tepian danau sekitar abad ke-13 dan ke-14. Sirkuit batang air dan aktivitas vulkanik diduga memiliki andil kerumahtanggaan mengubah bentang tunggul dan topografi mileu sekeliling Borobudur tertulis danau nya. Keseleo satu gunung berapi minimum aktif di Indonesia adalah Gunung Merapi yang terletak pas dekat dengan Borobudur dan sudah lalu aktif sejak musim Pleistosen.[21]
Sejarah
[sunting
|
sunting sumber]
Pembangunan
[sunting
|
sunting sumber]
Lukisan karya G.B. Hooijer (dibuat kurun 1916—1919) merekonstruksi suasana di Borobudur pada musim jayanya
Tidak ditemukan bukti tertulis yang menjelaskan siapakah yang membangun Borobudur dan apa kegunaannya.[22]
Waktu pembangunannya diperkirakan berlandaskan perbandingan antara spesies huruf yang tertulis di tungkai terlayang Karmawibhangga dengan diversifikasi leter yang sah digunakan puas batu bersurat imperium abad ke-8 dan ke-9. Diperkirakan Borobudur dibangun seputar masa 800 serani.[22]
Kurun saat ini sesuai dengan kurun antara 760 dan 830 M, perian puncak keberuntungan wangsa Syailendra di Jawa Tengah,[23]
yang rasi itu menguasai tahta Kerajaan Delik bangas. Pembangunan Borobudur diperkirakan menghabiskan waktu 75 – 100 tahun bertambah dan benar-benar dirampungkan pada masa pemerintahan raja Samaratungga pada tahun 825.[24]
[25]
Terdapat kekeruhan fakta mengenai apakah raja yang berkuasa di Jawa kala itu beragama Hindu alias Buddha. Wangsa Sailendra diketahui bagaikan penganut agama Buddha perputaran Mahayana yang konsisten, akan sekadar melewati temuan prasasti Sojomerto menunjukkan bahwa mereka mungkin awalnya beragama Hindu Siwa.[24]
Pada kurun hari itulah dibangun beraneka ragam candi Hindu dan Buddha di Legok Kedu. Berdasarkan Prasasti Canggal, sreg masa 732 M, pangeran beragama Siwa Sanjaya mensyariatkan pembangunan bangunan suci Shiwalingga yang dibangun di perbukitan Gunung Wukir, letaknya hanya 10 km (6,2 mi) jihat timur dari Borobudur.[26]
Candi Buddha Borobudur dibangun plong kurun waktu nan hampir bersamaan dengan candi-candi di Dataran Prambanan, walaupun demikian Borobudur diperkirakan sudah rampung selingkung 825 M, dua desimal panca waktu lebih awal sebelum dimulainya pembangunan candi Siwa Prambanan sekeliling tahun 850 M.
Pembangunan candi-candi Buddha — termasuk Borobudur — momen itu dimungkinkan karena pewaris Sanjaya, Rakai Panangkaran memasrahkan belas kasihan kepada umat Buddha untuk membangun candi.[27]
Malah untuk menunjukkan penghormatannya, Panangkaran menganugerahkan desa Kalasan kepada sangha (peguyuban Buddha), cak bagi perlindungan dan pembiayaan Candi Kalasan yang dibangun untuk menghormati Bodhisattwadewi Imbangan, begitu juga disebutkan kerumahtanggaan Prasasti Kalasan berkerangka masa 778 Masehi.[27]
Petunjuk ini dipahami oleh para arkeolog, bahwa pada mahajana Jawa bersejarah, agama tak pernah menjadi ki kesulitan yang boleh menuai konflik, dengan dicontohkan raja pengikut agama Hindu bisa saja menyokong dan mendanai pembangunan candi Buddha, demikian pula sebaliknya.[28]
Akan sekadar diduga terdapat persaingan antara dua wangsa imperium pada perian itu — wangsa Syailendra yang menganut Buddha dan wangsa Sanjaya yang memuja Siwa — yang kemudian wangsa Sanjaya memenangi perbangkangan lega perian 856 di perbukitan Ratu Boko.[29]
Ketidakjelasan juga keluih adapun candi Lara Jonggrang di Prambanan, candi megah yang dipercaya dibangun oleh sang kampiun Rakai Pikatan andai jawaban wangsa Sanjaya bagi menyaingi kesemarakan Borobudur hoki wangsa Syailendra,[29]
akan tetapi banyak pihak percaya bahwa terwalak suasana toleransi dan kebersamaan yang penuh kedamaian antara kedua wangsa ini ialah pihak Sailendra juga terkebat dalam pembangunan Candi Siwa di Prambanan.[30]
Borobudur diterlantarkan
[sunting
|
sunting sumber]
Meletusnya Gunung Merapi diduga sebagai penyebab utama diterlantarkannya Borobudur
Borobudur tersembunyi dan terhantar sejauh berabad-abad terkubur di radiks lapisan petak dan debu vulkanik nan kemudian ditumbuhi tanaman dan belukar belukar sehingga Borobudur kala itu benar-benar menyerupai jabal. Alasan selayaknya penyebab Borobudur ditinggalkan hingga kini masih belum diketahui. Tidak diketahui secara tentu sejak kapan bangunan suci ini tidak lagi menjadi pusat ziarah umat Buddha. Pada kurun 928 dan 1006, Aji Mpu Sindok memindahkan ibu kota kerajaan Medang ke kawasan Jawa Timur setelah serangkaian letusan gunung berapi; tidak dapat dipastikan apakah faktor inilah yang menyebabkan Borobudur ditinggalkan, akan namun sejumlah sumber menyahajakan bahwa sangat siapa Borobudur berangkat ditinggalkan puas periode ini.[6]
[19]
Bangunan masif ini disebutkan secara taksa-samar selingkung waktu 1365, maka dari itu Mpu Prapanca dalam naskahnya
Nagarakretagama
nan ditulis puas masa kerajaan Majapahit. Beliau menyebutkan adanya “Wihara di Budur”. Selain itu Soekmono (1976) juga mengajukan pendapat tenar bahwa candi ini mulai benar-benar ditinggalkan sejak pemukim sekitar beralih keyakinan kepada Islam pada abad ke-15.[6]
Monumen ini lain sepenuhnya dilupakan, melalui dongeng rakyat Borobudur beralih dari sebagai bukti keberhasilan zaman dulu menjadi kisah yang lebih berperilaku tahayul yang dikaitkan dengan kesialan, kecelakaan dan penderitaan. Dua Babad Jawa nan ditulis abad ke-18 menyebutkan hayat buruk nan dikaitkan dengan monumen ini. Menurut
Babad Tanah Jawi
(Ki kenangan Jawa), monumen ini merupakan faktor fatal bagi Mas Dana, pembangkang yang memberontak kepada Pakubuwono I, raja Kesultanan Mataram sreg 1709.[6]
Disebutkan bahwa bukit “Redi Borobudur” dikepung dan para perejah dikalahkan dan dihukum mati maka dari itu yamtuan. Privat
Babad Mataram
(Ki kenangan Kerajaan Mataram), monumen ini dikaitkan dengan kesialan putra mahkota Kesultanan Yogyakarta nan mengunjungi monumen ini pada 1757.[31]
Kendatipun terletak pantangan nan melarang bani adam untuk mengunjungi monumen ini, “Sang Pangeran datang mengunjungi
satria yang terpenjara di n domestik interniran
(patung buddha yang terwalak di kerumahtanggaan stupa berterawang)”. Setelah kembali ke keraton, sang Pangeran merosot sakit dan meninggal dunia sehari kemudian. Dalam ajudan Jawa lega masa Mataram Islam, reruntuhan konstruksi percandian dianggap sebagai ajang bersemayamnya roh halus dan dianggap
wingit
(angker) sehingga dikaitkan dengan kecelakaan atau kecelakaan yang mungkin menghampiri sembarang orang yang mengunjungi dan mengganggu situs ini. Meskipun secara ilmiah diduga, siapa setelah situs ini tidak terurus dan ditutupi belukar semak, tempat ini aliansi menjadi sarang pandemi penyakit seperti demam berdarah atau malaria.
Penemuan kembali
[sunting
|
sunting sumber]
Foto Borobudur oleh Isidore van Kinsbergen (1873) setelah monumen ini dibersihkan dari tanaman yang tumbuh pada bodi candi. Bendera Belanda tertentang pada stupa utama candi.
Teras tertinggi setelah restorasi Van Erp. Stupa utama memiliki menara dengan
chattra
(payung) susun tiga.
Setelah Perang Inggris-Belanda dalam memperebutkan pulau Jawa, Jawa di bawah pemerintahan Britania (Inggris) pada kurun 1811 setakat 1816. Thomas Stamford Raffles ditunjuk sebagai Gubernur Jenderal, dan ia memiliki minat istimewa terhadap sejarah Jawa. Beliau mengumpulkan artefak-artefak antik kesenian Jawa kuno dan membuat catatan mengenai rekaman dan tamadun Jawa nan dikumpulkannya pecah perjumpaannya dengan rakyat setempat dalam perjalanannya keliling Jawa. Sreg kunjungan inspeksinya di Semarang tahun 1814, ia dikabari mengenai adanya sebuah monumen besar jauh di internal pangan damping desa Bumisegoro.[31]
Karena berhalangan dan tugasnya sebagai Gubernur Jenderal, anda tidak bisa pergi sendiri bikin berburu bangunan itu dan mengutus H.C. Cornelius, seorang insinyur Belanda, untuk mengusut kehadiran bangunan raksasa ini. Dalam dua bulan, Cornelius beserta 200 bawahannya menebang pepohonan dan belukar semak nan tumbuh di ardi Borobudur dan membersihkan lapisan lahan yang mengubur candi ini. Karena ancaman longsor, ia tidak bisa menggali dan membersihkan semua lorong. Kamu melaporkan penemuannya kepada Raffles termasuk mengasihkan berbagai buram sketsa candi Borobudur. Meskipun penemuan ini cuma menyebutkan beberapa kalimat, Raffles dianggap berjasa atas rakitan lagi monumen ini, serta menggandeng ingatan dunia atas keberadaan monumen yang pernah hilang ini.[12]
Hartmann, seorang superior pemerintah Hindia Belanda di Keresidenan Kedu meneruskan kerja Cornelius dan plong 1835 akhirnya seluruh bagian konstruksi telah tergali dan terlihat. Minatnya terhadap Borobudur lebih bersifat pribadi ketimbang tugas kerjanya. Hartmann tidak menulis laporan atas kegiatannya; secara khusus, beredar kabar bahwa sira telah menemukan arca buddha samudra di stupa utama.[32]
Lega 1842, Hartmann menyelidiki stupa terdahulu meskipun segala yang beliau temukan tetap menjadi misteri karena bagian internal stupa kosong.
Pemerintah Hindia Belanda menugaskan F.C. Wilsen, seorang insinyur pejabat Belanda bidang teknik, anda mempelajari monumen ini dan menulis ratusan sketsa relief. J.F.G. Brumund kembali ditunjuk bakal melakukan penggalian makin terperinci atas monumen ini, yang dirampungkannya pada 1859. Pemerintah berencana menerbitkan artikel berdasarkan penelitian Brumund yang dilengkapi sketsa-sketsa karya Wilsen, tetapi Brumund menolak untuk bekerja setolok. Pemerintah Hindia Belanda kemudian menugaskan cendekiawan lain, C. Leemans, yang mengkompilasi monografi berdasarkan sumber bermula Brumund dan Wilsen. Pada 1873, monograf pertama dan penajaman bertambah detil atas Borobudur diterbitkan, dilanjutkan edisi terjemahannya dalam bahasa Prancis setahun kemudian.[32]
Foto pertama monumen ini diambil pada 1873 oleh ahli engrafi Belanda, Isidore van Kinsbergen.[33]
Penghargaan atas situs ini tumbuh perlahan. Cak bagi waktu yang cukup lama Borobudur sudah lalu menjadi sumber cenderamata dan pendapatan bagi pencuri, penjahat candi, dan kolektor “pemburu artefak”. Majikan reca Buddha adalah bagian yang paling kecil banyak dicuri. Karena mencolong seluruh reca buddha terlalu susah dan besar, arca sengaja dijungkirkan dan dijatuhkan oleh perompak agar kepalanya terpenggal. Karena itulah kini di Borobudur banyak ditemukan patung Buddha tanpa kepala. Kepala Buddha Borobudur telah lama menjadi sasaran kolektor benda antik dan museum-museum di seluruh dunia. Pada 1882, kepala inspektur artefak budaya mensyurkan agar Borobudur dibongkar seluruhnya dan reliefnya dipindahkan ke museum akibat kondisi yang tidak stabil, ketidakpastian dan pencurian yang pijar di monumen.[33]
Akhirnya, pemerintah menunjuk Groenveldt, seorang arkeolog, cak bagi menggelar penyelidikan menyeluruh atas situs dan memperhitungkan kondisi aktual mania ini; laporannya menyatakan bahwa kekhawatiran ini jebah dan mensyurkan hendaknya konstruksi ini dibiarkan utuh dan tidak dibongkar lakukan dipindahkan.
Bagian candi Borobudur dicuri misal benda cenderamata, arca dan ukirannya diburu kolektor benda antik. Tindakan penjarahan situs bersejarah ini bahkan pelecok satunya direstui Pemerintah Kolonial. Lega musim 1896, Raja Thailand, Chulalongkorn detik mengunjungi Jawa di Hindia Belanda (kini Indonesia) menyatakan minatnya buat mempunyai beberapa bagian berusul Borobudur. Pemerintah Hindia Belanda mengizinkan dan mendermakan delapan pedati munjung patung dan bagian bangunan Borobudur. Artefak yang diboyong ke Thailand antara lain; lima arca Buddha bersama dengan 30 batu dengan tatahan, dua patung singa, beberapa alai-belai berbentuk kala, pangkat dan gerbang, dan arca penjaga dwarapala yang perhubungan agak gelap di Bukit Kutub — beberapa ratus meter di barat laut Borobudur. Beberapa artefak ini, yaitu patung singa dan dwarapala, kini dipamerkan di Museum Nasional Bangkok.[34]
Pemugaran
[sunting
|
sunting sumber]
Borobudur kembali menganjur pikiran pada 1885, ketika Yzerman, Ketua Masyarakat Arkeologi di Yogyakarta, menemukan
tungkai gadungan.[35]
Foto-foto yang menampilkan relief plong kaki tersembunyi dibuat lega kurun 1890–1891.[36]
Reka cipta ini mendorong pemerintah Hindia Belanda untuk mengambil langkah menjaga kelestarian monumen ini. Pada 1900, pemerintah membentuk komisi yang terdiri atas tiga pejabat lakukan meneliti monumen ini: Brandes, seorang sejarawan seni, Theodoor van Erp, seorang insinyur yang sekali lagi anggota angkatan Belanda, dan Van de Kamer, insinyur pakar konstruksi bangunan berpangkal Departemen Tiang penghidupan Umum.
Penanaman beton dan culim PVC bagi memperbaiki sistem drainase Borobudur lega pemugaran tahun 1973
Pada 1902, komisi ini mengajukan proposal tiga anju rencana preservasi Borobudur kepada pemerintah.
[butuh rujukan]
Pertama, bahaya yang menggusur harus buru-buru diatasi dengan mengatak lagi sudut-sudut bangunan, menjangkitkan godaan yang membahayakan batu lain di sebelahnya, memperketat gerogol langkan pertama, dan memugar beberapa jeluk, gerbang, stupa dan stupa terdahulu. Kedua, memagari halaman candi, menernakkan dan menyunting sistem pengaliran dengan mengoreksi tegel dan pancuran. Ketiga, semua batuan lepas dan longgar harus dipindahkan, monumen ini dibersihkan hingga pagar langkan pertama, batu yang kemungkus dipindahkan dan stupa utama dipugar. Jumlah biaya yang diperlukan pron bila itu ditaksir sekitar 48.800 Gulden.
Pemugaran dilakukan pada kurun 1907 dan 1911, menunggangi kaidah anastilosis dan dipimpin Theodor van Erp.[37]
Tujuh bulan pertama dihabiskan untuk menggali tanah di sekitar monumen cak bagi menemukan majikan buddha yang hilang dan panel bujukan. Van Erp membongkar dan membangun kembali tiga teras melingkar dan stupa di babak puncak. Dalam prosesnya Van Erp menemukan banyak hal yang dapat diperbaiki; ia mengajukan proposal tidak yang disetujui dengan anggaran adendum sebesar 34.600 gulden. Van Erp berbuat pemulihan lebih lanjut, kamu bahkan dengan teliti merekonstruksi
chattra
(payung batu susun tiga) yang memahkotai puncak Borobudur. Pada pandangan mula-mula, Borobudur telah pulih sebagaimana puas masa kejayaannya. Akan cuma pemulihan
chattra
sahaja menggunakan tekor batu asli dan semata-mata rekaan kira-agak. Karena dianggap bukan bisa dipertanggungjawabkan keasliannya, Van Erp membongkar seorang putaran
chattra. Kini mastaka ataupun kemuncak Borobudur
chattra
susun tiga tersimpan di Museum Karmawibhangga Borobudur.
Akibat rekapitulasi yang terbatas, pemugaran ini hanya memusatkan perhatian pada membersihkan patung dan batu, Van Erp tidak memecahkan keburukan drainase dan tata air. Privat 15 masa, dinding galeri miring dan relief menunjukkan retakan dan kerusakan.[37]
Van Erp memperalat beton nan menyebabkan terbentuknya intan buatan garam alkali dan zat kapur hidroksida nan menyerak ke seluruh penggalan bangunan dan negatif batu candi. Hal ini menyebabkan problem sehingga renovasi lebih lanjut diperlukan.
Pemugaran boncel-kecilan dilakukan sejak itu, tetapi tidak sepan bagi memberikan konservasi nan utuh. Pada intiha 1960-an, Pemerintah Indonesia telah mengajukan permintaan kepada masyarakat internasional untuk pemugaran habis-habisan demi melindungi monumen ini. Pada 1973, kerangka induk kerjakan memulihkan Borobudur dibuat.[38]
Pemerintah Indonesia dan UNESCO mengambil langkah untuk perbaikan mendunia monumen ini dalam suatu titipan besar antara tahun 1975 dan 1982.[37]
Pondasi diperkukuh dan segenap 1.460 panel pahatan dibersihkan. Pemugaran ini dilakukan dengan membongkar seluruh lima teras bujur sangkar dan memperbaiki sistem drainase dengan cangkok saluran air ke dalam monumen. Lapisan saringan dan kedap air ditambahkan. Pesanan kolosal ini menyertakan 600 manusia lakukan memulihkan monumen dan menghabiskan biaya besaran sebesar 6.901.243 dollar AS.[39]
Setelah renovasi, UNESCO mengegolkan Borobudur ke dalam daftar Situs Warisan Marcapada pada hari 1991.[3]
Borobudur masuk dalam patokan Budaya (i) “mewakili adikarya kretivitas khalayak yang jenius”, (ii) “menampilkan pertukaran penting n domestik nilai-kredit kemanusiaan internal rentang waktu tertentu di dalam satu wilayah budaya di dunia, dalam pembangunan arsitektur dan teknologi, seni yang monumental, perencanaan tata kota dan rang lansekap”, dan (vi) “secara kontan dan jelas dihubungkan dengan satu hal ataupun leluri yang hidup, dengan gagasan ataupun dengan tangan kanan, dengan karya seni artistik dan karya sastra nan n kepunyaan makna menyeluruh yang luar stereotip”.[3]
Peristiwa kontemporer
[sunting
|
sunting sendang]
Biksu peziarah tengah bermeditasi di pelataran puncak
Setelah pemugaran megah pada 1973 yang didukung makanya UNESCO,[38]
Borobudur pun menjadi pusat keagamaan dan ziarah agama Buddha. Sekali setahun pada saat rembulan purnama sekitar bulan Mei maupun Juni, umat Buddha di Indonesia memperingati perian tahir Waisak, hari yang memperingati kelahiran, wafat, dan terutama peristiwa pencerahan Siddhartha Gautama yang mencapai tingkat kebijaksanaan tertinggi menjadi Buddha Shakyamuni. Waisak merupakan masa libur nasional di Indonesia[40]
dan upacara peringatan dipusatkan di tiga candi Buddha utama dengan ritual berjalan dari Candi Mendut menghadap Candi Pawon dan prosesi berparak di Candi Borobudur.[41]
Pada 21 Januari 1985, sembilan stupa busuk parah akibat sembilan dermaga.[42]
Pada 1991 seorang pensyarah mukmin bermazhab ekstrem yang tunanetra, Husein Ali Al Habsyie, dihukum penjara seumur hidup karena bertindak bak otak serangkaian bidasan bom pada pertengahan dasawarsa 1980-an, termasuk serangan atas Candi Borobudur.[43]
Dua anggota keramaian ekstrem sayap kanan dijatuhi hukuman 20 hari kamp pada tahun 1986 dan koteng lainnya menyepakati azab 13 waktu penjara.
Sendratari “Karyatama Borobudur” digelar di Borobudur
Monumen ini adalah bulan-bulanan wisata solo yang paling banyak dikunjungi di Indonesia. Sreg 1974 sebanyak 260.000 wisatawan yang 36.000 di antaranya adalah wisatawan mancanegara telah mengunjungi monumen ini.[8]
Nilai ini meningkat hingga mencapai 2,5 juta pengunjung setiap tahunnya (80% adalah wisatawan domestik) pada medio 1990-an, sebelum Krisis keuangan Asia 1997.[9]
Akan doang pembangunan pariwisata dikritik tidak melibatkan masyarakat setempat sehingga beberapa konflik lokal kerap terjadi.[8]
Sreg 2003, penduduk dan wiraswasta nisbah katai di sekitar Borobudur menggelar perjumpaan dan protes dengan pembacaan tembang, menolak rencana pemerintah wilayah nan berencana membangun kompleks mal berlantai tiga yang disebut ‘Java World’.[44]
Upaya masyarakat setempat cak bagi mendapatkan penghidupan bermula sektor wisata Borobudur telah meningkatkan jumlah gerakan kecil di sekitar Borobudur. Akan belaka usaha mereka bikin mencari peranakan acap kali tambahan pula mengganggu kenyamanan pengunjung. Misalnya pedagang cenderamata satuan nan mengganggu dengan bersitegang menjual dagangannya; meluasnya lapak-lapak pasar cenderamata sehingga saat hendak keluar kompleks candi, pengunjung malah digiring berjalan jauh mengebur memasuki labirin pasar cenderamata. Jika enggak tertata maka semua ini membuat kompleks candi Borobudur semakin semrawut.
Sreg 27 Mei 2006, gempa berkekuatan 6,2 perimbangan mengguncang pesisir kidul Jawa Perdua. Bencana standard ini mengandaskan kawasan dengan korban terbanyak di Yogyakarta, akan saja Borobudur tegar utuh.[45]
Pada 28 Agustus 2006 sarasehan bertajuk
Trail of Civilizations
(jejak tamadun) digelar di Borobudur atas prakarsa Gubernur Jawa Tengah dan Kementerian Pariwisata dan Kebudayaan, pula hadir badal UNESCO dan negara-negara mayoritas Buddha di Asia Tenggara, sama dengan Thailand, Myanmar, Laos, Vietnam, dan Kamboja.
[pelir rujukan]
Puncak acara ini yaitu pagelaran sendratari kolosal “Karyatama Borobudur” di depan Candi Borobudur. Tarian ini diciptakan dengan bersendikan gaya tari tradisional Jawa, musik gamelan, dan busananya, mengobrolkan akan halnya sejarah pembangunan Borobudur. Setelah simposium ini, sendratari Mahakarya Borobudur sekali lagi dipergelarkan bilang kali, khususnya menjelang peringatan Waisak yang biasanya turut dihadiri Presiden Republik Indonesia.
Provokasi peringatan pemugaran candi Borobudur dengan bantuan UNESCO
UNESCO mengidentifikasi tiga permasalahan penting dalam upaya konservasi Borobudur: (i) vandalisme alias pengrusakan oleh petandang; (ii) erosi tanah di bagian tenggara situs; (iii) analisis dan pengembalian adegan-bagian yang hilang.[46]
Kapling yang gembur, sejumlah kelihatannya gempa bumi, dan hujan lebat dapat menggoyahkan struktur gedung ini. Gempa bumi yakni faktor yang paling parah, karena tidak saja batuan dapat ambruk dan pelengkung ambruk, tanah seorang bergerak bergelombang yang dapat subversif struktur bangunan.[46]
Meningkatnya popularitas stupa menarik banyak pengunjung yang lazimnya adalah warga Indonesia. Meskipun terdapat banyak papan peringatan lakukan tidak mengaras apapun, pengumandangan peringatan melalui pengeras suara dan adanya penjaga, vandalisme konkret pengrusakan dan pencorat-coretan relief dan patung sering terjadi, hal ini jelas merusak situs ini. Pada 2009, tidak terserah sistem bikin membatasi besaran wisatawan yang bisa berkunjung per hari, alias menerapkan tiap kunjungan harus didampingi pengarak agar pengunjung selalu internal pemeriksaan.[46]
Pada 11 Februari 2022, pemerintah meresmikan status Candi Borobudur (bersama dengan Candi Pawon dan Mendut) kembali laksana tempat peribadatan umat Buddhis di Indonesia dan mayapada. Selain Candi Borobudur, Candi Prambanan kembali diresmikan statusnya sebagai arena peribadatan umat Hindu. Pengembalian status ini dicanangkan melalui sebuah katebelece kesepakatan yang disepakati antara Pemerintah Negeri Yogyakarta, Pemerintah Distrik Jateng, Kementerian Agama, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, Departemen BUMN, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Rani. Nota kesepakatan ini bertujuan untuk menimpali fungsi keempat candi tersebut sebagai kancah peribadatan, pasca- sebelumnya lebih banyak menjadi objek investigasi, cagar tamasya, dan jaminan budaya.[10]
Rehabilitasi
[sunting
|
sunting sumber]
Borobudur lewat terdampak letupan Bukit Merapi plong Oktober dan November 2022. Duli vulkanik dari Merapi menutupi kompleks candi nan bubar 28 kilometer (17 mi) arah barat-barat buku berasal kawah Merapi. Lapisan abuk vulkanik menjejak ketebalan 2,5 sentimeter (1 in)[47]
menutupi gedung candi kala letusan 3–5 November 2022, bubuk pun mematikan tanaman di sekitar, dan para tukang mengkhawatirkan debu vulkanik nan secara kimia berkarakter asam dapat merusak batuan bangunan historis ini. Kompleks candi ditutup 5 sampai 9 November 2022 bakal menjernihkan luruhan tepung.[48]
[49]
Mencermati upaya rehabilitasi Borobudur setelah salakan Merapi 2022, UNESCO sudah menyumbangkan dana sebesar 3 miliun dollar AS untuk mendanai upaya rehabilitasi. Membersihkan candi berusul endapan debu vulkanik akan menghabiskan waktu sedikitnya 6 bulan, disusul penghutanan kembali dan penghutanan tanaman di lingkungan sekeliling lakukan memantapkan suhu, dan keladak menyemarakkan kembali kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat setempat.[50]
Lebih terbit 55.000 blok batu candi harus dibongkar cak bagi memperbaiki sistem tata air dan drainase yang tersumbat bancuhan abuk vulkanik berbaur air hujan. Restorasi berakhir November 2022, kian semula dari kalkulasi sediakala.[51]
Arsitektur
[sunting
|
sunting sumber]
Borobudur dilihat dari halaman sudut barat laut
Denah Borobudur membentuk Mandala, lambang alam seberinda dalam kosmologi Buddha.
Lorong koridor dengan galeri dinding berpahat relief
Borobudur merupakan mahakarya seni rupa Buddha Indonesia, andai contoh puncak pencapaian keserasian teknik arsitektur dan estetika seni rupa Buddha di Jawa. Bangunan ini diilhami gagasan dharma dari India, antara bukan stupa, dan mandala, tetapi dipercaya juga merupakan kesinambungan unsur lokal; struktur megalitik
punden berundak
atau limas berpangkat yang ditemukan dari masa prasejarah Indonesia. Bagaikan perpaduan antara ikram leluhur kudus Indonesia dan bantahan mencecah Nirwana dalam ajaran Buddha.[3]
Konsep rancang pulang ingatan
[sunting
|
sunting sumber]
Pada hakikatnya Borobudur adalah sebuah stupa yang bila dilihat dari atas membentuk pola Mandala segara. Mandala adalah pola rumit yang tersusun atas bujursangkar dan kalangan konsentris yang menandakan kosmos maupun alam segenap yang lumrah ditemukan dalam Buddha aliran Wajrayana-Mahayana. Sepuluh pelataran yang dimiliki Borobudur melukiskan secara jelas filsafat mazhab Mahayana yang secara bersamaan menggambarkan kosmologi yaitu konsep alam segenap, sekaligus strata pataka perhatian dalam tajali Buddha.[52]
Andai sebuah kitab, Borobudur mencitrakan dasa tingkatan Bodhisattva yang harus dilalui lakukan mencapai kesempurnaan menjadi Buddha. Pangkal denah bujur sangkar berukuran 123 meter (404 ft) pada tiap sisinya. Gedung ini n kepunyaan sembilan teras, enam teras terbawah berbentuk bujur sangkar dan tiga teras terala berbentuk lingkaran.
Sreg tahun 1885, secara enggak disengaja ditemukan struktur tersembunyi di kaki Borobudur.[35]
Tungkai gadungan ini terletak relief yang 160 di antaranya yakni bercerita tentang
Karmawibhangga. Pada relief panel ini terdapat ukiran aksara yang yakni wahyu bagi pengukir buat takhlik episode intern gambar relief.[53]
Kaki bersih ini tertutup oleh penambahan struktur batu yang menciptakan menjadikan jerambah yang cukup luas, kepentingan sebenarnya masih menjadi misteri. Awalnya diduga bahwa penyisipan suku ini untuk mencegah kelongsoran monumen.[53]
Teori lain mengajukan bahwa penambahan tungkai ini disebabkan kesalahan perancangan kaki safi, dan tidak sesuai dengan Wastu Sastra, kitab India mengenai arsitektur dan manajemen kota.[35]
Apapun alasan penambahan kaki ini, interpolasi dan pembuatan kaki tambahan ini dilakukan dengan teliti dengan mempertimbangkan alasan keagamaan, estetik, dan teknis.
Ketiga pangkat sirep spiritual internal kosmologi Buddha merupakan:
- Kamadhatu
- Bagian kaki Borobudur melambangkan
Kamadhatu, yaitu dunia nan masih dikuasai oleh
kama
atau “nafsu rendah”. Bagian ini sebagian besar tertutup oleh longgokan bujukan yang diduga dibuat bagi memperkuat konstruksi candi. Puas bagian kaki sejati yang tertutup struktur tambahan ini terdapat 160 panel narasi
Karmawibhangga
yang kini terselubung. Sebagian katai struktur tambahan di ki perspektif tenggara disisihkan sehingga orang masih boleh mematamatai beberapa cukilan pada adegan ini. Struktur bencana andesit kaki tambahan nan menutupi kaki kalis ini memiliki tagihan 13.000 meter kubik.[5] - Rupadhatu
- Empat undak teras yang mewujudkan lorong keliling yang pada dindingnya dihiasi galeri relief oleh para juru dinamakan
Rupadhatu. Lantainya berbentuk persegi. Rupadhatu terdiri dari empat lorong dengan 1.300 rang cukilan. Panjang relief seluruhnya 2,5 km dengan 1.212 panel berukir dekoratif. Rupadhatu adalah dunia nan sudah bisa melepaskan diri dari
nafsu, semata-mata masih terikat oleh rupa dan bagan. Tingkatan ini melambangkan
alam antara
adalah, antara
pan-ji-panji asal
dan
alam atas. Sreg bagian Rupadhatu ini arca-arca Buddha terwalak puas ceruk atau relung dinding di atas sogang langkan maupun balai penghadapan. Aslinya terdapat 432 arca Buddha di dalam mungkum-relung melangah di selama sisi asing di sogang tangan-tangan.[5]
Plong pagar susur tangan terdapat sedikit perbedaan rancangan nan melambangkan peralihan dari hening Kamadhatu menuju ranah Rupadhatu; pagar susur tangan minimal cacat dimahkotai ratna, sedangkan empat tingkat cerocok langkan diatasnya dimahkotai stupika (stupa boncel). Bagian teras-teras bujursangkar ini mampu akan paesan dan ukiran tatahan. - Arupadhatu
- Berlainan dengan lorong-lorong Rupadhatu yang berkecukupan akan relief, tiba lantai kelima setakat ketujuh dindingnya tidak berelief. Strata ini dinamakan
Arupadhatu
(yang berfaedah enggak berupa atau lain berwujud). Denah tegel berbentuk lingkaran. Strata ini melambangkan
alam atas, di mana hamba allah sudah lalu bebas dari segala kedahagaan dan ikatan rangka dan rupa, namun belum mencapai nirwana. Sreg halaman lingkaran terletak 72 dua stupa kerdil berterawang yang tersusun dalam tiga armada nan mengelilingi satu stupa osean sebagai stupa induk. Stupa boncel berbentuk lonceng ini disusun kerumahtanggaan 3 teras lingkaran yang masing-masing berjumlah 32, 24, dan 16 (total 72 stupa). Dua teras terbawah stupanya lebih besar dengan lubang berbentuk belah ketupat, satu teras teratas stupanya rendah makin boncel dan lubangnya berbentuk boks bujur sangkar. Arca-patung Buddha ditempatkan di dalam stupa yang ditutup berlubang-lubang seperti mana kerumahtanggaan kurungan. Berpokok luar patung-arca itu masih tampak samar-enigmatis. Rancang pulang ingatan ini dengan cerdas mengklarifikasi konsep peralihan mendatangi kejadian tanpa wujud, yakni patung Buddha itu ada cuma lain kelihatan.
[butuh rujukan]
Tangga teratas yang menggambarkan ketiadaan wujud yang acuan dilambangkan berupa stupa yang terbesar dan tertinggi. Stupa digambarkan polos tanpa lubang-terowongan.
[kontol rujukan]
Di internal stupa terbesar ini pernah ditemukan patung Buddha yang tidak kamil atau disebut sekali lagi Buddha nan tidak rampung, yang disalahsangkakan bak arca ‘Adibuddha’, sementara itu melewati penelitian lebih lanjut lain jalinan ada reca di dalam stupa utama, patung nan tidak selesai itu merupakan kesalahan pemahatnya lega zaman dahulu. Menurut kepercayaan patung yang salah dalam proses pembuatannya memang tidak boleh dirusak. Penggalian arkeologi yang dilakukan di jerambah candi ini menemukan banyak patung begitu juga ini. Stupa utama yang dibiarkan kosong diduga berjasa kebijaksanaan tertinggi, yaitu kasunyatan, kesunyian dan ketiadaan hipotetis di mana jiwa manusia sudah tidak terikat hasrat, kehausan, dan bentuk serta terbebas dari halangan samsara.
Struktur gedung
[sunting
|
sunting sendang]
Reca raja rimba penjaga gerbang
Ukiran raksasa sebagai pengarah pancuran drainase
Penampang candi Borobudur terdapat neraca skala 4:6:9 antara babak suku, badan, dan kepala
Tingkatan Borobudur mendaki melalui serangkaian gapura berukir Kala-Makara
Sekitar 55.000 meter kubik gangguan andesit diangkut dari tambang godaan dan tempat penatahan bagi membangun monumen ini.[54]
Gangguan ini dipotong dalam ukuran tertentu, diangkut menuju situs dan disatukan minus menggunakan benih. Struktur Borobudur lain mempekerjakan semen sama sekali, melainkan sistem
interlock
(saling kunci) merupakan sama dengan balok-balok lego nan bisa berapit sonder perekat. Batu-bencana ini disatukan dengan aksen dan terowongan yang tepat dan muat satu sama lain, serta bentuk “ekor merpati” yang piting dua blok alai-belai. Relief dibuat di lokasi setelah struktur gedung dan dinding rampung.
Monumen ini dilengkapi dengan sistem drainase nan cukup baik untuk negeri dengan curah hujan yang tinggi. Untuk mencegah genangan dan kebanjiran, 100 pancuran dipasang disetiap sudut, masing-masing dengan rancangan yang unik berbentuk kepala raksasa kala maupun kaprikornus.
[pelir rujukan]
Borobudur amat berbeda dengan susuk candi lainnya, candi ini bukan dibangun di atas latar datar, belaka di atas argo alami. Akan belaka teknik pembangunannya serupa dengan candi-candi enggak di Jawa. Borobudur tidak punya ruang-pangsa pendewaan seperti candi-candi enggak. Yang ada yaitu lorong-lorong jenjang nan merupakan jalan sempit. Lorong-lorong dibatasi dinding mengelilingi candi tingkat demi tingkat. Secara masyarakat rancang pulang ingatan Borobudur mirip dengan piramida berundak. Di lorong-lorong inilah umat Buddha diperkirakan melakukan upacara berjalan kaki mengerumuni candi ke arah kanan. Borobudur bisa jadi pada awalnya berfungsi makin sebagai sebuah
stupa, daripada kuil atau candi.[54]
Stupa
memang dimaksudkan sebagai konstruksi suci kerjakan memuliakan Buddha. Terkadang stupa dibangun sebagai lambang penghormatan dan pemuliaan kepada Buddha. Sementara kuil ataupun candi lebih berfungsi sebagai kondominium ibadah. Rancangannya yang langka dari monumen ini menunjukkan bahwa bangunan ini memang sebuah bangunan kancah peribadatan. Kerangka bangunan tanpa rubrik dan struktur teras bersusun-susun ini diduga yaitu jalan dari bagan
punden berundak, yang merupakan rangka arsitektur tulus dari masa prasejarah Indonesia.
Menurut saga setempat arsitek perancang Borobudur bernama Gunadharma, minus nan diketahui tentang arsitek misterius ini.[55]
Namanya makin berdasarkan dongeng dan legenda Jawa dan bukan berdasarkan prasasti bersejarah. Saga Gunadharma terkait dengan cerita rakyat adapun perbukitan Menggurat yang bentuknya menyerupai tubuh turunan leyeh-leyeh. Dongeng tempatan ini menceritakan bahwa tubuh Gunadharma yang menggeletak berubah menjadi jajaran perbukitan Menggores, pasti namun legenda ini sahaja fiksi dan dongeng belaka.
Perancangan Borobudur menunggangi satuan ukur
tala, merupakan hierarki wajah manusia antara ujung garis rambut di dahi hingga ujung dagu, atau jarak jengkal antara ujung ibu deriji dengan ujung ujung tangan kelingking ketika telapak tangan dikembangkan sepenuhnya.[56]
Pasti saja runcitruncit ini bersifat relatif dan sedikit farik antar individu, akan semata-mata satuan ini tetap pada monumen ini. Penelitian plong 1977 kuak rasio perbandingan 4:6:9 yang ditemukan di monumen ini. Arsitek menunggangi formula ini bikin menentukan dimensi yang tepat dari suatu fraktal geometri perulangan swa-serupa dalam rencana Borobudur.[56]
[57]
Skala matematis ini juga ditemukan kerumahtanggaan rancang bangun Candi Mendut dan Pawon di dekatnya. Arkeolog yakin bahwa rasio 4:6:9 dan satuan
induk kunci
memiliki keistimewaan dan makna penanggalan, ilmu perbintangan, dan kosmologi. Hal yang sama pun berlaku di candi Angkor Wat di Kamboja.[55]
Struktur konstruksi dapat dibagi atas tiga bagian: dasar (kaki), tubuh, dan puncak.[55]
Bawah berdimensi 123×123 m (403.5 × 403.5 ft) dengan jenjang 4 meter (13 ft).[54]
Tubuh candi terdiri atas lima batur teras bujur sangkar nan makin mengecil di atasnya. Teras purwa mundur 7 meter (23 ft) dari ujung radiks teras. Tiap teras berikutnya ki bertambah 2 meter (6,6 ft), menyisakan lorong sempit sreg tiap tahapan. Bagian atas terdiri atas tiga teras buntar, tiap tingkatan menopang bala stupa berterawang yang disusun secara konsentris. Terdapat stupa terdahulu nan terbesar di tengah; dengan pucuk mencapai jalal 35 meter (115 ft) dari permukaan tanah. Tinggi asli Borobudur termasuk chattra (payung susun tiga) yang kini dilepas adalah 42 meter (138 ft) . Tangga terletak pada babak tengah keempat sisi mata kilangangin kincir yang membawa pengunjung mengarah bagian puncak monumen melintasi serangkaian gerbang pelengkung nan dijaga 32 arca raja rimba. Gawang ki gerbang dihiasi ukiran Kala pada puncak tengah lowong gapura dan ukiran makara yang menonjol di kedua sisinya. Motif Kala-Makara jamak ditemui dalam arsitektur ki candi di Jawa. Pintu utama terwalak di arah timur, sekaligus titik awal bikin membaca kisah ukiran. Tangga ini lurus terus tertanam dengan tangga pada lereng bukit yang menghubungkan candi dengan dataran di sekitarnya.
Ukiran
[sunting
|
sunting sumur]
Seni pahat Borobudur memiliki kehalusan kecenderungan dan citarasa estetik yang anggun
Letak relief kisah-kisahan naskah sejati Buddha di dinding Borobudur
Puas dinding candi di setiap jenjang — kecuali pada teras-teras Arupadhatu — dipahatkan panel-panel bas-relief nan dibuat dengan habis teliti dan halus.[58]
Relief dan pola hias Borobudur bergaya naturalis dengan rasio yang kamil dan selera estetik yang halus. Relief-cukilan ini sangat mulia, bahkan dianggap sebagai yang minimal elegan dan anggun internal kesenian dunia Buddha.[59]
Tatahan Borobudur juga menerapkan disiplin senirupa India, seperti bermacam ragam sikap tubuh yang memiliki makna atau nilai estetis tertentu. Relief-pahatan berwujud manusia mulia sebagai halnya pertapa, aji dan wanita bangsawan, bidadari atapun makhluk yang menjejak derajat kegadisan seumpama dewa, begitu juga antagonis dan boddhisatwa, sering kali digambarkan dengan posisi jasad tribhanga. Posisi raga ini disebut “lekuk tiga” yaitu melekuk maupun invalid condong pada bagian leher, pinggul, dan pergelangan kaki dengan bagasi jasmani doang bertumpu lega satu kaki, sementara kaki yang lainnya dilekuk beristirahat. Posisi badan yang luwes ini menyiratkan keanggunan, misalnya figur bidadari Surasundari nan berdiri dengan sikap tubuh tribhanga sambil menggenggam teratai berjupang panjang.[60]
Ukiran Borobudur menampilkan banyak susuk; begitu juga hamba allah manusia baik bangsawan, rakyat jelata, alias pertapa, aneka tumbuhan dan hewan, serta menampilkan susuk bangunan vernakular tradisional Nusantara. Borobudur tak ubahnya bagaikan kitab yang merekam berbagai aspek kehidupan masyarakat Jawa kuno. Banyak arkeolog meneliti kehidupan periode lampau di Jawa kuno dan Nusantara abad ke-8 dan ke-9 dengan mencermati dan merujuk ukiran ukiran Borobudur. Bentuk flat tempat, lumbung, keraton dan candi, susuk perhiasan, gaun serta persenjataan, aneka tumbuhan dan margasatwa, serta perkakas transportasi, dicermati maka itu para pemeriksa. Salah satunya adalah relief terkenal yang menggambarkan Kapal Borobudur.[61]
Kapal kayu bercadik khas Nusantara ini menunjukkan kebudayaan bahari dahulu kala. Replika berlepas yang dibuat bersendikan relief Borobudur tersimpan di Museum Segara Raksa yang terwalak di sebelah utara Borobudur.[62]
Relief-pahatan ini dibaca sesuai sisi jarum jam atau disebut
mapradaksina
dalam bahasa Jawa Kuna yang terbit dari bahasa Sanskerta
daksina
yang artinya ialah timur.[63]
Relief-relief ini bermacam-jenis isi ceritanya, antara tak ukiran-relief cerita jātaka. Pembacaan kisah-kisah cukilan ini senantiasa dimulai, dan berakhir puas pintu gerbang sisi timur di setiap tingkatnya, mulainya di arah kiri dan berakhir di sebelah kanan bab gerbang itu. Maka secara aktual bahwa sebelah timur adalah tangga naik yang sesungguhnya (utama) dan menuju puncak candi, artinya bahwa candi menghadap ke timur meskipun sisi-sebelah lainnya serupa benar.
Adapun susunan dan pembagian relief kisahan lega dinding dan pagar langkan candi yakni umpama berikut.
Gambar Relief | |||
---|---|---|---|
Tingkat | Posisi/letak | Kisah Cukilan | Total Birai |
Kaki candi asli | —– | Karmawibhangga | 160 |
Tingkat I | dinding | a. Lalitawistara | 120 |
b. jataka/awadana | 120 | ||
langkan | a. jataka/awadana | 372 | |
b. jataka/awadana | 128 | ||
Tingkat II | dinding | Gandawyuha | 128 |
langkan | jataka/awadana | 100 | |
Tingkat III | dinding | Gandawyuha | 88 |
langkan | Gandawyuha | 88 | |
Tingkat IV | dinding | Gandawyuha | 84 |
loneng | Gandawyuha | 72 | |
Jumlah | 1460 |
Secara runtutan, maka cerita sreg relief candi secara singkat berguna seumpama berikut:
- Karmawibhangga
Pelecok satu tatahan Karmawibhangga di dinding candi Borobudur (lantai 0 sudut tenggara)
- Sesuai dengan makna simbolis pada kaki candi, relief yang menghiasi dinding batur yang terselubung tersebut menggambarkan hukum karma. Karmawibhangga yaitu skrip yang menggambarkan nubuat mengenai karma, adalah sebab-akibat widita dan jahat. Deretan cukilan tersebut bukan adalah cerita sorot (serial), tetapi pada setiap pigura menyantirkan suatu cerita yang mempunyai hubungan sebab akibat. Ukiran tersebut tidak saja memberi gambaran terhadap perbuatan ternoda khalayak disertai dengan hukuman yang akan diperolehnya, tetapi lagi ulah baik manusia dan pahala. Secara keseluruhan merupakan pembayangan semangat insan dalam lingkaran lahir – hidup – mati (samsara) yang tidak hubungan berjauhan, dan oleh agama Buddha kalung tersebutlah yang akan diakhiri bagi menuju kesempurnaan. Waktu ini doang penggalan tenggara yang terbuka dan boleh dilihat oleh pengujung. Foto hipotetis tatahan Karmawibhangga boleh disaksikan di Museum Karmawibhangga di sisi utara candi Borobudur.
- Lalitawistara
- Merupakan visualisasi riwayat Sang Buddha dalam deretan relief-relief (tetapi lain merupakan riwayat yang lengkap) yang dimulai dari turunnya Sang Buddha dari surga Tushita, dan berakhir dengan ular-ular pertama di Taman Rusa damping kota Banaras. Relief ini berlarik dari tangga lega sebelah sebelah selatan, selepas melampui deretan relief sebanyak 27 birai yang dimulai berpunca tangga sisi timur. Ke-27 pigura tersebut menggambarkan kesibukan, baik di sorga maupun di manjapada, sebagai ancang untuk menjawat hadirnya reinkarnasi buncit Sang Bodhisattwa selaku calon Buddha. Relief tersebut melukiskan lahirnya Si Buddha di arcapada ini andai Kanjeng sultan Siddhartha, putra Paduka Suddhodana dan Permaisuri Khayali berpunca Negeri Kapilawastu. Relief tersebut berjumlah 120 birai, nan berakhir dengan wejangan pertama, nan secara simbolis dinyatakan laksana Pemutaran Pit Dharma, tajali Sang Buddha di tutur dharma nan pula berarti “hukum”, sementara itu dharma dilambangkan seumpama roda.
[penis rujukan]
- Jataka dan Awadana
- Jataka adalah bermacam ragam cerita akan halnya Si Buddha sebelum dilahirkan perumpamaan Emir Siddharta. Isinya yakni sendi penonjolan perbuatan-widita, seperti sikap rela berkorban dan suka menolong yang mengkhususkan Sang Bodhisattwa dari makhluk lain manapun lagi. Beberapa kisah Jataka memajukan kisah fabel ialah kisah yang melibatkan pelopor hewan yang beraksi dan berpikir dalam-dalam sebagaimana cucu adam. Selayaknya, reklamasi jasa atau makruf merupakan tinggi langkah intern usaha menentang ketingkat ke-Buddha-an.
[butuh rujukan]
- Sedangkan Awadana, plong dasarnya akrab sama dengan Jataka akan tetapi pelakunya bukan Sang Bodhisattwa, melainkan orang enggak dan ceritanya dihimpun dalam kitab Diwyawadana yang berarti ragam mulia kedewaan, dan kitab Awadanasataka alias seratus cerita Awadana. Pada relief candi Borobudur Jataka dan Awadana, diperlakukan sebanding, artinya keduanya terdapat privat deretan yang sama tanpa dibedakan. Pusparagam yang paling populer dari roh Sang Bodhisattwa adalah Jatakamala maupun untaian cerita Jataka, karya penyair Aryasura yang kehidupan intern abad ke-4 Masehi.
[butuh rujukan]
- Gandawyuha
- Merupakan deretan relief mendandani dinding lorong ke-2,adalah narasi Sudhana yang berkelana tanpa mengenal letih internal usahanya berburu Pesiaran Tertinggi tentang Kebenaran Sejati oleh Sudhana. Penggambarannya dalam 460 lis didasarkan plong kitab tahir Buddha Mahayana yang berjudul Gandawyuha, dan untuk penggalan penutupnya berlandaskan cerita kitab lainnya adalah Bhadracari.
[pelir rujukan]
Arca Buddha
[sunting
|
sunting perigi]
Sebuah reca Buddha di dalam stupa berterawang
Selain wujud buddha dalam kosmologi buddhis nan terukir di dinding, di Borobudur terletak banyak arca buddha duduk bersila n domestik posisi teratai serta menganjurkan mudra atau sikap tangan simbolis tertentu. Arca buddha dengan tinggi 1,5 meter ini dipahat terbit korban bujukan andesit.[5]
Arca buddha n domestik relung-relung di tingkat
Rupadhatu, diatur berdasarkan barisan di arah luar sogang langkan. Jumlahnya semakin berkurang plong sisi atasnya. Barisan pagar langkan pertama terdiri dari 104 relung, baris kedua 104 mungkum, ririt ketiga 88 cembung, baris keempat 72 relung, dan baris kelima 64 relung. Kuantitas total terdapat 432 arca Buddha di tingkat
Rupadhatu.[4]
Pada adegan
Arupadhatu
(tiga pelataran melingkar), arca Buddha diletakkan di intern stupa-stupa berterawang (berlubang). Pada pelataran bulat mula-mula terdapat 32 stupa, halaman kedua 24 stupa, dan jerambah ketiga terdapat 16 stupa, semuanya jumlah 72 stupa.[4]
Dari jumlah asli sebanyak 504 reca Buddha, lebih dari 300 sudah rusak (biasanya tanpa kepala) dan 43 hilang (sejak penemuan monumen ini, kepala buddha belalah dicuri sebagai barang koleksi, kebanyakan oleh museum luar negeri).[64]
Secara sepintas semua arca buddha ini terpandang serupa, akan namun terdapat perbedaan lembut di antaranya, yaitu pada
mudra
maupun posisi sikap tangan. Terdapat panca golongan
mudra: Utara, Timur, Daksina, Barat, dan Tengah, kesemuanya berdasarkan lima arah utama kompas menurut ajaran Mahayana. Keempat pagar langkan memiliki catur
mudra: Utara, Timur, Selatan, dan Barat, di mana masing-masing arca buddha nan menumpu sisi tersebut menampilkan
mudra
nan partikular. Arca Buddha puas pagar langkan kelima dan arca buddha di internal 72 stupa berterawang di pekarangan atas menampilkan
mudra: Paruh atau Trik. Per
mudra
menandakan lima Dhyani Buddha; per dengan makna simbolisnya tersendiri.[65]
Mengikuti urutan
Pradakshina
merupakan usaha merubung searah jarum jam dimulai berpangkal jihat Timur, maka
mudra
arca-patung buddha di Borobudur adalah:
Reca | Mudra | Melambangkan | Dhyani Buddha | Arah Alat penglihatan Angin | Lokasi Reca |
---|---|---|---|---|---|
![]() |
Bhumisparsa mudra | Memanggil manjapada sebagai saksi | Akshobhya | Timur | Relung di pagar selusur 4 baris pertama Rupadhatu sisi timur |
![]() |
Wara mudra | Kebaikan hati | Ratnasambhava | Selatan | Mungkum di gerogol langkan 4 baris pertama Rupadhatu arah selatan |
![]() |
Dhyana mudra | Perenungan atau permenungan | Amitabha | Barat | Cembung di pagar langkan 4 baris pertama Rupadhatu sisi barat |
![]() |
Abhaya mudra | Ketidakgentaran | Amoghasiddhi | Utara | Kolong di pagar langkan 4 baris permulaan Rupadhatu jihat paksina |
![]() |
Witarka mudra | Akal budi | Wairocana | Tengah | Relung di pagar langkan baris kelima (terala) Rupadhatu semua sisi |
![]() |
Dharmachakra mudra | Pemutaran roda dharma | Wairocana | Tengah | Di dalam 72 stupa di 3 teras melingkar Arupadhatu |
Warisan
[sunting
|
sunting sumber]
Presiden Sukarno mengajak Nehru mengunjungi Borobudur puas bulan Juni 1950.
Pencapaian estetika dan keahlian teknik arsitektur nan ditampilkan Borobudur, serta ukurannya nan luar baku, menjadi bukti izzah masa lepas, dan mutakadim membakar kemangkakan bagi Bangsa Indonesia. Seperti peran Angkor Wat cak bagi Nasion Kamboja, Borobudur telah menjadi simbol nan abadi bagi Indonesia — sebagai saksi keberuntungan masa lampau. Sukarno menegaskannya dengan mengajak pengunjung-pengunjung negara mengunjunginya. Sementara pemerintahan Suharto — mencatat makna alegoris dan potensi ekonominya — secara benar-benar menggelar antaran pemugaran kerjakan memulihkan monumen ini dengan pertolongan UNESCO. Banyak museum di Indonesia memamerkan transendental skala mungil maupun replika Borobudur. Monumen ini sudah lalu menjadi ikon, dikelompokkan bersama wayang golek dan klonengan seumpama wujud budaya klasik Jawa yang menjadi inspirasi Indonesia.[66]
Sejumlah artefak ilmu purbakala dari Borobudur, atau replikanya, dipamerkan di beberapa museum di Indonesia dan mancanegara. Selain Museum Karmawibhangga kerumahtanggaan mania Borobudur, beberapa museum menyimpan relik dari Borobudur, antara lain Museum Nasional Indonesia, Tropenmuseum di Amsterdam, British Museum di London, dan Museum Nasional Bangkok. Sementara Museum Louvre di Paris, Museum Negara Malaysia di Kuala Lunau, dan Museum Agama Bumi di Taipei juga mengemukakan replika Borobudur.[67]
Monumen ini mutakadim menggelandang pikiran dunia kepada peradaban klasik Buddha Jawa Kuno.
Penemuan kembali dan pemugaran Borobudur mutakadim disanjung-sanjung oleh Umat Buddha Indonesia ibarat pertanda kebangkitan ajaran Buddha di Indonesia. Pada 1934, Narada Thera, seorang biksu pembicara berbunga Sri Lanka, mengunjungi Indonesia lakukan pertama kalinya sebagai bagian berpokok perjalanannya menyebarkan wahyu Dharma di Asia Tenggara. Kesempatan ini dimanfaatkan umat Buddha setempat untuk membangkitkan kembali laung Dharma di Indonesia. Pada kesempatan itu digelar upacara penanaman Pohon Bodhi di jihat tenggara Borobudur, pada tanggal 10 Maret 1934 dengan diberkati oleh Narada Thera, berbarengan pengangkatan beberapa Upasaka menjadi Bhiksu.[68]
Setiap tahun, ribuan umat Buddha berasal seluruh Indonesia dan negara-negara jiran, berkumpul di Borobudur untuk memperingati masa Trisuci Waisak.[69]
Lambang provinsi Jawa Paruh dan Kabupaten Magelang, menampilkan gambar Borobudur. Candi ini sudah menjadi simbol Jawa Perdua, dan Indonesia secara luas. Borobudur telah menjadi stempel bilang institusi dan raga usaha, seperti Perkumpulan Borobudur, Hotel Borobudur Jakarta, serta sejumlah rumah makan Indonesia di luar negeri. Borobudur ditampilkan dalam uang rupiah, perangko, dibahas dalam beberapa gerendel, berita, butir-butir, dokumenter, serta materi promosi wisata Indonesia. Candi ini menjadi atraksi wisata terkemuka di Indonesia, terdepan bakal menggerakan roda perekonomian tempatan dan di kawasan sekitar Borobudur. Misalnya, sektor pariwisata Kota Yogyakarta tumbuh berkembang riuk satunya berkat kedekatannya dengan candi Borobudur dan Prambanan.
Ikhtisar waktu proses pemugaran Candi Borobudur
[sunting
|
sunting sumur]
- 1814 – Sir Thomas Stamford Raffles, Gubernur Jenderal Britania Raya di Jawa, mendengar adanya reka cipta benda purbakala di desa Borobudur. Raffles memerintahkan H.C. Cornelius bakal menanyai lokasi reka cipta, faktual bukit yang dipenuhi semak belukar.
- 1873 – monografi pertama tentang candi diterbitkan.
- 1900 – rezim Hindia Belanda menjadwalkan sebuah panitia pemugaran dan perlindungan candi Borobudur.
- 1907 – Theodoor van Erp mendahului pemugaran sampai hari 1911.
- 1926 – Borobudur dipugar kembali, hanya terhenti puas tahun 1940 akibat krisis
malaise
dan Perang Dunia II. - 1956 – Pemerintah Indonesia meminang pertolongan UNESCO. Prof. Dr. C. Coremans menclok ke Indonesia berpangkal Belgia kerjakan meneliti sebab-sebab kerusakan Borobudur.
- 1963 – Pemerintah Indonesia mengeluarkan piagam keputusan untuk memugar Borobudur, saja berantakan setelah terjadi hal G-30-S.
- 1968 – Puas konferensi-15 di Prancis, UNESCO cocok cak bagi memberi bantuan untuk mengetanahkan Borobudur.
- 1971 – Pemerintah Indonesia membentuk badan pemugaran Borobudur yang diketuai Prof.Ir.Roosseno.
- 1972 – International Consultative Committee dibentuk dengan menyertakan berbagai rupa negara dan Roosseno ibarat ketuanya. Komite yang disponsori UNESCO menyediakan 5 miliun rupiah Amerika Serikat bermula biaya pemugaran 7.750 juta rial Amerika Serikat. Sisanya ditanggung Indonesia.
- 10 Agustus 1973 – Presiden Soeharto meresmikan dimulainya pemugaran Borobudur; pemugaran selesai puas tahun 1984
- 21 Januari 1985 – terjadi gempuran bom nan merendahkan sejumlah stupa pada Candi Borobudur yang kemudian taajul diperbaiki pula. Serangan dilakukan makanya kelompok Islam reaksioner yang dipimpin oleh Husein Ali Al Habsyi.
- 1991 – Borobudur ditetapkan bak Peninggalan Dunia oleh UNESCO.
Galeri
[sunting
|
sunting sendang]
Bersumber masa ke masa
[sunting
|
sunting sumber]
-
Borobudur puas sekitar tahun 1866
-
Borobudur lega sekitar tahun 1873
-
Borobudur lega sekitar perian 1900
-
Borobudur sebelum perian 1905
-
Borobodur pada tahun 1923
-
Borobudur pada masa 1933
-
Borobudur pada selingkung waktu 1970-an
-
Borobudur pada tahun 1992
-
Borobudur lega tahun 2007
-
Borobudur plong tahun 2022
-
Borobudur pada tahun 2022
Relief
[sunting
|
sunting mata air]
-
-
Pemusik mempertunjukkan pagelaran musik, barangkali substansial bentuk tadinya beleganjur.
-
-
Gambar Raja dan Aji bersama dengan kaki tangan mereka.
-
Salah satu relief di dinding koridor.
-
Sebuah senjata, peluang gambar awal berpokok keris.
-
Sebuah cukilan batu tatahan secara mendetail.
-
-
Tara memegang setangkai teratai
-
Sebuah relief berusul jarak erat
BWCF
[sunting
|
sunting sumber]
Sejak musim 2012, kawasan Candi Borobudur dijadikan andai salah satu tempat manajemen perhelatan berskala internasional, Borobudur Writers and Cultural Festival yang dihadiri oleh para seniman dan budayawan.
Referensi
[sunting
|
sunting perigi]
-
^
“Largest Buddhist temple”.
Guinness World Records. Guinness World Records. Diakses tanggal
27 January
2022.
-
^
“Guinness names Borobudur world’s largest Buddha temple”. The Jakarta Post. Wednesday, July 04 2012, 4:50 PM. Diarsipkan dari varian asli rontok 2022-11-05. Diakses copot
27 January
2022.
-
^
a
b
c
d
e
f
“Borobudur Temple Compounds”.
UNESCO World Heritage Centre. UNESCO. Diakses tanggal
28 December
2008.
-
^
a
b
c
Soekmono (1976), halaman 35–36. -
^
a
b
c
d
Kartapranata, Gunawan (2007-06-01). “Seremoni Waisak di Borobudur (Infografik)”
(Infographic)
(privat bahasa Indonesian). Harian “Kompas”.
-
^
a
b
c
d
Soekmono (1976), halaman 4. -
^
Mark Elliott … (2003).
Indonesia. Melbourne: Lonely Bintang beredar Publications Pty Ltd. hlm. 211–215. ISBN 1-74059-154-2.
. -
^
a
b
c
Mark P. Hampton (2005). “Heritage, Local Communities and Economic Development”.
Annals of Tourism Research.
32
(3): 735–759. doi:10.1016/j.annals.2004.10.010.
-
^
a
b
E. Sedyawati (1997). “Potential and Challenges of Tourism: Managing the National Cultural Heritage of Indonesia”. Dalam W. Nuryanti (ed.).
Tourism and Heritage Management. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. hlm. 25–35.
-
^
a
b
“Candi Borobudur dan Prambanan Protokoler Jadi Tempat Peribadatan Manjapada”.
CNN Indonesia
. Diakses tanggal
2022-02-11
.
-
^
a
b
c
d
Soekmono (1976), pekarangan 13. -
^
a
b
Thomas Stamford Raffles (1817).
The History of Java
(edisi ke-1978). Oxford University Press. ISBN 0-19-580347-7.
-
^
a
b
J. L. Moens (1951). “Barabudur, Mendut en Pawon en hun onderlinge samenhang (Barabudur, Mendut and Pawon and their mutual relationship)”
(PDF).
Tijdschrift voor de Indische Taai-, Land- en Volkenkunde. Het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen: 326–386. Diarsipkan dari versi asli
(PDF)
copot 2007-08-10. Diakses rontok
2011-11-01
.
trans. by Mark Long
-
^
a
b
J.G. de Casparis, “The Dual Nature of Barabudur”, in Gómez and Woodward (1981), pekarangan 70 dan 83. -
^
Drs. R. Soekmono, (1973, 5th reprint edition in 1988).
Pengantar Memori Tamadun Indonesia 2, 2nd ed. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. hlm. 46.
-
^
Walubi. “Borobudur : Candi Berbukit Kebajikan”. Diarsipkan berpangkal versi kalis tanggal 2022-05-10. Diakses tanggal
2009-12-21
.
-
^
Soekmono (1976), halaman 1. -
^
N. J. Krom (1927).
Borobudur, Archaeological Description. The Hague: Nijhoff. Diarsipkan berusul versi kudrati tanggal 2008-08-17. Diakses terlepas
17 August
2008.
-
^
a
b
c
d
Murwanto, H.; Gunnell, Y; Suharsono, S.; Sutikno, S. and Lavigne, F (2004). “Borobudur monument (Java, Indonesia) stood by a natural lake: chronostratigraphic evidence and historical implications”.
The Holocene.
14
(3): 459–463. doi:10.1191/0959683604hl721rr.
-
^
R.W. van Bemmelen (1949).
The geology of Indonesia, general geology of Indonesia and adjacent archipelago, vol 1A, The Hague, Government Printing Office, Martinus Nijhoff. cited in Murwanto (2004). -
^
Newhall C.G., Bronto S., Alloway B., Banks N.G., Bahar I., del Marmol M.A., Hadisantono R.D., Holcomb R.N., McGeehin J., Miksic J.N., Rubin M., Sayudi S.D., Sukhyar R., Andreastuti S., Tilling R.I., Torley R., Trimble D., and Wirakusumah A.D. (2000). “10,000 Years of explosive eruptions of Merapi Volcano, Central Java: archaeological and modern implications”.
Journal of Volcanology and Geothermal Research.
100
(1): 9–50. doi:10.1016/S0377-0273(00)00132-3.
-
^
a
b
Soekmono (1976), pekarangan 9. -
^
Miksic (1990) -
^
a
b
Dumarçay (1991). -
^
Paul Michel Munoz (2007).
Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula. Singapore: Didier Millet. hlm. 143. ISBN 981-4155-67-5.
-
^
W. J. van der Meulen (1977). “In Search of “Ho-Ling““.
Indonesia.
23: 87–112.
-
^
a
b
W. J. van der Meulen (1979). “King Sañjaya and His Successors”.
Indonesia.
28
(28): 17–54. doi:10.2307/3350894. JSTOR 3350894.
-
^
Soekmono (1976), jerambah 10. -
^
a
b
D.G.E. Hall (1956). “Problems of Indonesian Historiography”.
Pacific Affairs.
38
(3/4): 353–359. doi:10.2307/2754037. JSTOR 2754037.
-
^
Roy E. Jordaan (1993).
Imagine Buddha in Prambanan: Reconsidering the Buddhist Background of the Loro Jonggrang Temple Complex. Leiden: Vakgroep Talen en Culturen van Zuidoost-Azië en Ocenanië, Rijksuniversiteit te Leiden. ISBN 90-73084-08-3.
-
^
a
b
Soekmono (1976), halaman 5. -
^
a
b
Soekmono (1976), halaman 6. -
^
a
b
Soekmono (1976), pelataran 42. -
^
John Miksic, Marcello Tranchini, Anita Tranchini (1996). “Borobudur: Golden Tales of the Buddhas”. Tuttle publishing. hlm. 29. Diakses tanggal
2 April
2012.
-
^
a
b
c
“Borobudur Pernah Salah Design?”.
Kompas.com
(dalam bahasa Indonesian). Kompas. 7 April 2000. Diarsipkan berasal versi putih tanggal 2007-12-26. Diakses tanggal
23 August
2008.
-
^
Soekmono (1976), jerambah 43. -
^
a
b
c
UNESCO (31 August 2004).
UNESCO experts mission to Prambanan and Borobudur Heritage Sites. Siaran pers. -
^
a
b
Caesar Voute; Voute, Caesar (1973). “The Restoration and Conservation Project of Borobudur Temple, Indonesia. Planning: Research: Design”.
Studies in Conservation.
18
(3): 113–130. doi:10.2307/1505654. JSTOR 1505654.
-
^
UNESCO.
Cultural heritage and partnership; 1999
(PDF). Mualamat pers. Diakses puas 17 August 2008. -
^
Coordinating Ministry for Public Welfare.
Keputusan Bersama mengenai Hari Libur Nasional dan Cuti Bersama periode 2006
(intern Indonesian). Siaran pers. Diakses pada 17 August 2008. Diarsipkan 2008-03-07 di Wayback Machine. -
^
“The Meaning of Procession”.
Waisak. Walubi (Buddhist Council of Indonesia). Diarsipkan dari versi asli sungkap 2009-02-11. Diakses sungkap
28 December
2008.
-
^
“1,100-Year-Old Buddhist Temple Wrecked By Bombs in Indonesia”. The Miami Herald. 22 January 1985. Diakses tanggal
17 August
2008.
-
^
Harold Crouch (2002). “The Key Determinants of Indonesia’s Political Future”
(PDF).
Institute of Southeast Asian Studies.
7. ISSN 0219-3213. Diarsipkan dari versi asli
(PDF)
copot 2022-03-20. Diakses terlepas
2011-11-01
.
-
^
Jamie James (27 January 2003). “Battle of Borobudur”. Time. Diarsipkan dari versi ikhlas terlepas 2007-09-30. Diakses sungkap
23 August
2008.
-
^
Sebastien Berger (30 May 2006). “An ancient wonder reduced to rubble”. The Sydney Morning Herald. Diakses tanggal
23 August
2008.
-
^
a
b
c
“Section II: Periodic Report on the State of Conservation”
(PDF).
State of Conservation of the World Heritage Properties in the Asia-Pacific Region. UNESCO World Heritage. Diakses tanggal
23 February
2022.
-
^
“Covered in volcanic ash, Borobudur closed temporarily”.
ANTARA News. from, Magelang, C Java (by ANTARA News). 6 November 2022. Diakses rontok
6 November
2022.
-
^
“Borobudur Temple Forced to Close While Workers Remove Merapi Ash”. Jakarta Bola dunia. 7 November 2022. Diakses copot
7 November
2022.
-
^
“Inilah Foto-foto Kerusakan Candi”.
Tribunnews.com. Tribun News. 7 November 2022. Diakses tanggal
7 November
2022.
-
^
“Borobudur’s post-Merapi eruption rehabilitating may take three years: Official”. 2022-02-17. Diarsipkan berbunga versi asli tanggal 2022-08-06. Diakses tanggal
2011-11-01
.
-
^
http://www.thejakartapost.com/news/2011/06/28/borobudur-clean-finish-november.html -
^
A. Wayman (1981). “Reflections on the Theory of Barabudur as a Mandala”.
Barabudu History and Significance of a Buddhist Monument. Berkeley: Asian Humanities Press.
-
^
a
b
Soekmono (1976), pekarangan 18. -
^
a
b
c
Soekmono (1976), pelataran 16. -
^
a
b
c
Caesar Voûte and Mark Long.
Borobudur: Pyramid of the Cosmic Buddha. D.K. Printworld Ltd. Diarsipkan semenjak versi asli sungkap 2008-06-08. Diakses terlepas
17 August
2008.
-
^
a
b
Atmadi (1988). -
^
H. Situngkir (2010). “Borobudur Was Built Algorithmically”.
BFI Working Paper Series WP-9-2010. Bandung Fe Institute.
-
^
“Borobudur” (dalam bahasa Inggris). Buddhist Travel. 2008. Diakses copot
2011-11-11
.
-
^
Tom Cockrem, Sydney Morening Herald, May 18, 2008 (2008). “Temple of enlightenment” (internal bahasa Inggris). The Buddhist Channel.tv. Diakses tanggal
2011-11-11
.
-
^
“Surasundari” (dalam bahasa Inggris). Art and Archaeology.com. Diakses tanggal
2011-11-11
.
-
^
“The Cinnamon Route” (n domestik bahasa Inggris). Borobudur Park. Diarsipkan dari versi murni tanggal 2022-09-25. Diakses tanggal
2011-12-14
.
-
^
“The Borobudur Ship Expedition, Indonesia to Africa 2003-2004” (dalam bahasa Inggris). The Borobudur Ship Expedition. 2004. Diakses tanggal
2011-12-14
.
-
^
Sugata, Ferlina (2016). “Keterkaitan Aktivitas Pradaksina pada Ragam Tipologi Bangunan Stupa”.
Journal of Design.
1
(2): 210.
-
^
Hiram W. Woodward Jr. (1979). “Acquisition”.
Critical Inquiry.
6
(2): 291–303. doi:10.1086/448048.
-
^
Roderick S. Bucknell and Martin Stuart-Fox (1995).
The Twilight Language: Explorations in Buddhist Meditation and Symbolism. UK: Routledge. ISBN 0700702342.
-
^
Wood, Michael. “The Borderlands of Southeast Asia Chapter 2ː Archaeology, National Histories, and National Borders in Southeast Asia”
(PDF): 38. Diarsipkan dari versi zakiah
(PDF)
tanggal 2022-05-05. Diakses copot
4 May
2022.
-
^
“The Greatest Sacred Buildings”. Museum of World Religions, Taipei. Diarsipkan terbit versi masif tanggal 2022-02-07. Diakses sungkap
4 May
2022.
-
^
“Buddhism in Indonesia”. Buddhanet. Diakses copot
4 May
2022.
-
^
“Vesak Festival: A Truly Sacred Experience”. Wonderful Indonesia. Diakses tanggal
4 May
2022.
Lihat pun
[sunting
|
sunting mata air]
- Agama Buddha di Indonesia
- Agama Buddha di Asia Tenggara
- Candi
- Candi Prambanan
- Kegandrungan Candi Borobudur
Daftar pustaka
[sunting
|
sunting sumber]
- Dr. Soekmono,
Candi Borobudur – Warisan Budaya Umat Manusia, Jakarta: Pustaka Jaya (1978)
Pranala luar
[sunting
|
sunting sendang]
Wikimedia Commons memiliki media mengenai
Borobudur
.
- Tamasya Candi Borobudur
- BOROBUDUR, Sunyi N domestik KEAGUNGAN
- Balai Konservasi Borobudur
-
(Inggris)
Situs web sah Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan, dan Ratu Boko -
(Inggris)
Borobudur Temple Compounds di situs UNESCO World Heritage Centre -
(Inggris)
UNESCO Documents: Pengumuman terperinci adapun Candi Borobudur (format PDF) -
(Inggris)
Dokumen foto Candi Borobudur -
(Inggris)
Panduan wisata Borobudur -
(Inggris)
Borobudur Temple Compounds – UNESCO: World Heritage List
Source: https://id.wikipedia.org/wiki/Borobudur
Posted by: gamadelic.com