Pertempuran 5 Hari Di Semarang


Pelucutan Senjata makanya para Pemuda dan BKR

Kalahnya Jepang yang ditandai dengan dibomnya Hiroshima dan Nagasaki mengerasi Jepang secara resmi menyerah tanpa syarat pada tanggal 15 Agustus 1945 dan disusul kenyataan Indonesia plong tanggal 17 Agustus 1945. Indonesia seharusnya secara resmi merdeka dan Jepang tidak mempunyai hoki atas Indonesia. Mr. Wongsonegoro ditunjuk umpama penguasa Republik Indonesia di Jawa Tengah dengan ki akal pemerintahan di Semarang. Dengan adanya otonomi Indonesia mewajibkan pemerintah Jawa Perdua bikin mengambil alih wilayah Jawa Tengah mulai sejak laskar Jepang terjadwal internal satah pemerintahan, keamanan dan ketertiban. Bakal itu pemerintah Republik Indonesia membentuk Badan keamanan Rakyat (BKR) yang kemudian bertransformasi menjadi Pasukan Keamanan Rakyat.

Pada beberapa kancah di Jawa Paruh, pelucutan senjata Jepang berlangsung tanpa kekerasan sebagaimana di Banyumas, namun kembali ada yang memerlukan pertumpahan darah sama dengan nan ada di Semarang.
Kidobutai
(pusat ketentaraan Jepang di Jatingaleh) nampaknya lain sepenuhnya semupakat dengan pelucutan senjata yang dilakukan para pribumi meskipun Gubernur Wongsinegoro telah menjamin bahwa senjata tersebut lain cak bagi melawan Jepang. Permintaan dilakukan berulang mana tahu, tetapi hasil nan didapatkan tidak seberapa, dan senjata nan diberikan pun yaitu senjata – senjata usang.

BKR dan Teruna di Semarang syak hati kepada Jepang yang akan melakukan perkelahian. Syak wasangka semakin bertambah selepas mendengar informasi legiun maskapai akan mendarat di Pulau Jawa. Pihak BKR dan Pemuda Semarang gugup senjata Jepang akan diserahkan ke Sekutu. Mereka berpendapat sebelum konsorsium mendarat di pulau Jawa, mereka harus merebut senjata Jepang tambahan pula tinggal. Mereka sudah menduga bahwa Belanda bersama sekutu akan juga merebut wilayah Indonesia dan menjajat Indonesia lagi. Pasukan perjaka terdiri dari beberapa keramaian yakni BKR, Polisi Istimewa, AMRI, AMKA (Legiun Muda Kereta api) dan organisasi pemuda lainnya.

Markas Jepang di Semarang mendapatkan bantuan terbit pasukan Jepang yang dari Irian nan cenderung Jakarta sebanyak 675 orang, karena persoalan logistik mereka kemudian singgah di Semarang. Legiun ini merupakan pasukan khusus perang yang sudah terasuh berperang di medan Irian. Situasi momen itu kontras sekali, para cowok yang belum memiliki asam garam kutat dan bahkan ada yang tidak bersenjata harus menyamai Jepang yang sudah lalu memiliki pegalaman bergelut dan punya senjata kian lengkap. Sebagian besar juga belum mendapatkan latihan bergelut kecuali pasukan Petugas keamanan Istimewa, anggota BKR, semenjak ex-Denah dan
Heiho
yang membujur pendidikan kemiliteran namun tanpa camar duka bertempur.

Persabungan 5 hari di Semarang diawali dari bentrokan 400 tentara Jepang nan bertugas membangun pabrik senjata di Cepiring, dengan jarak 30 km dari Semarang. Pertempuran ini mengawali berkobarnya perang dari Cepiring hingga Jatingaleh di bagian atas kota. Pasukan Jepang yang kalah memilih ki bertambah ke Jatingaleh dan berintegrasi dengan pasukan
Kidobutai
di Jatingaleh.


Peracunan Sumber Air di Candi dan Terbunuhnya Dr. Kariadi

Suasana daerah tingkat Semarang memanas. Ada amanat kontol yang menyebutkan pasukan
Kidobutai
akan melakukan serangan bantahan. Suasana semakin memanas ketika terdengar siaran pasokan pasokan air di Candi (Siranda) telah diracuni makanya tentara Jepang dan pelucutan 8 insan polisi Indonesia yang menengah menghindarkan peracunan air meneguk itu..

Dr. Kariadi selaku ketua Labratorium Pusat Apartemen Sakit Rakyat (Purusara) setelah mendengar kabar tersebut seketika bergegas berkiblat Candi kerjakan mengecek kebenarannya. Namun, sira tidak sebatas pada tempatnya dan ditemukan tewas di jalan Pandanaran karena terbunuh oleh bala Jepang. Namanya kemudian diabadikan menjadi sebuah kondominium sakit ternama di Semarang adalah RS Karyadi. Keesokan harinya pada tanggal 15 Oktober 1945 pukul 03.00, barisan
Kidobutai
melicinkan serangan ke tengah kota Semarang.

Kwartir BKR saat itu berkecukupan di komplek alumnus sekolah MULO di Mugas. Di sinilah bala
Kidobutai
mengupas di pagi buta. Mereka mengkritik secara tahu-tahu dengan dua macam serbuan adalah tembakan
tekidanto
(pelempar geranat) dan karabin yang besar-besaran. Diperkirakan pada saat itu barisan Jepang berjumlah 400 orang. Setelah menerimakan perlawanan sejauh setengah jam, bimbingan BKR menyadari bahwa angkatan BKR tidak dapat mempertahankan maskasnya dan melembarkan mundur menjauhi markas BKR.

Seterusnya, pasukan Jepang bergerak membebaskan markas
Kempetai
yang telah dikepung para pemuda. Sesudah mampu mematahkan serbuan para pemuda, armada Jepang berpindah ke markas Polisi Istiewa di Kalisari dan berakibat menduduki markas tersebut. Disini terjadi pembunuhan nan dulu kejam terhadap anggota polisi yang tidak sempat melarikan diri berbunga pengepungan.

Di depan kwartir
Kempetai
juga terjadi sambutan sengit antara bala Jepang dengan para pemuda di lulusan Konstruksi NIS (Lawang Sewu) serta di Gubernuran (Wisma Perdamaian). Pasukan pertalian yang terdiri dari BKR, Petugas keamanan Istimewa dan AMKA melawan secara gigih hingga banyak objek berjatuhan terbit kedua belah pihak.

Meskipun pihak Jepang pada pertampikan purwa mampu menduduki beberapa tempat penting, cuma mereka tidak bisa mengotot lama karena mereka terus berbintang terang bidasan dari BKR dan pemuda. Mereka terpaksa pergi menyingkir markas dan seperti itu terus silih berganti perebutan di gelanggang – tempat strategis antara pemuda dan barisan Jepang.

Selain menangkap Wongsonegoro, Jepang juga menangkap penasihat Rumah Sakit Purusara yaitu Dr. Sukaryo, Pemimpin Kompi BKR nan merupakan ex-Sudanco, Mirza Sidharta dan banyak pemimpin lain. Bantuan dari asing kota terus berdatangan cak bagi bergabung bersama jejaka.

Armada BKR dan bujang bermula Pati datang bagi kondusif serangan kepada Jepang di tempat – tempat penting di kota Semarang. Taktik gerilya digunakan untuk menjauhi perang terbuka dengan menginjak – berangkat memperhatikan dan menghilang. Sekalipun belum ada komando penyerangan, namun secara saling menoleh para cowok melancarkan serangan dadakan dan tak tersangka sehingga menyulitkan Jepang.

Markas Jepang di Jatingaleh pun tidak luput dari terjangan para bujang. Manuver Jepang terhambat karena harus melawan para pemuda di depan dinas PLN, terlebih para pemuda sempat memukul mengaret armada Jepang. Akibat serangan yang mengawang, petuga PMI tidak bisa bersirkulasi leluasa dan menyebabkan banyak bahan pertampikan dalam kondisi sangat menyedihkan. Mereka yang mujur jejas setelah berperang beberapa tidak mendapat habuan perawatan yang semestinya, para korban meninggal di beberapa bekas hingga membusuk karena enggak segera di kubur.

Petugas enggak yang mempunyai jasa besar dalam perang 5 masa di Semarang adalah anglo umum yang bermarkas di Hotel du Pavillion (Dibya Putri) dimana para perjaka menyangkutkan makanan disini setelah selesai berperang walaupun mereka sendiri juga kekurangan perut.


Pertempuran di Tugu Muda

Diperkirakan sebanyak 2.000 pasukan Jepang timbrung terbabit intern perang ini. Senjata contoh tentara Jepang melawan vitalitas juang pemuda Semarang yang tak kenal payah dan silih berganti melakukan terjangan ke pihak Jepang. Pertempuran paling sengit terjadi di Tugu Muda. Puluhan jejaka terkepung disana dan dibantai oleh
Kidobutai. Para pemuda yang berasal dari daerah selingkung menunjukkan kesetia – kawanan mereka. Silih berganti para perjaka melakukan serangan perdurhakaan. Mereka yang baru datang dari luar seketika spontan turun ke medan pertempuran.

Selepas BKR berhasil melakukan konsolidasi dan asian bantuan dari kawasan enggak, kondisi berbalik. Jepang terkepung dan dalam situasi kritis. Serangan pemuda makin gencar dan diperhebat. Banyaknya korban dari para jejaka menyundut amarah mereka untuk menuntut balas atas kematian pasangan seperjuangan mereka. Diperkirakan sebanyak 2000 orang bersumber para pemuda ringgis dan 500 turunan berasal Jepang tewas dalam pertempuran ini. Pahlawan – pahlwan ini kemudian dikebumikan di Peristirahatan terakhir Pahlawan, Semarang.

Peristirahatan terakhir Pahlawan Semarang

Berikutnya diadakan perundingan antara pihak Jepang dan pemuda. Jepang menghendaki agar senjata – senjata yang mutakadim dirampas dikembalikan lagi ke pihak Jepang. Wongsonegoro menolak dengan alasan tidak cak semau panjar atas penyerahan senjata serta tidak diketahui siapa – siapa yang menyambut senjata tersebut. Akhirnya Jepang memufakati pernyataan Wongsonegoro dan pihak Jepang menyerah serta melakukan gencatan senjata.

Sebenarnya para cowok tidak sekata dan kecut hati dengan gencatan tersebut, mereka kecewa atas banyaknya persekutuan dagang – kawan sepenanggungan nan telah gugur dan hendak menuntut balas atas kematiannya. Setibanya sekutu di Semarang, maka berakhirlah pertempuran dengan Jepang selama lima tahun tepat sreg tanggal 19 Oktober 1945.

Related posts:


0

Source: http://idsejarah.net/2017/01/pertempuran-5-hari-di-semarang.html

Posted by: gamadelic.com