Nama Kerajaan Hindu Di Indonesia

Hindu menjadi salah satu agama nan berkembang pesat di Nusantara pada masa lampau. Agama ini dibawa maka itu para musafir semenjak India yang bernama Maha Resi Agastya. Resi tersebut di Jawa dikenal dengan nama Dewa Guru maupun Dwipayana. Wangsit Hindu yang mayoritas berkembang di Nusantara ketika itu adalah distribusi Waisnawa, yaitu
suatu ajaran nan memuja Dewa Wisnu seumpama betara utama.

Menurut ajaran agama Hindu, Wisnu atau sering juga disebut dengan Sri Wisnu dan Nārāyana adalah betara yang bergelar umpama
shtiti
(pemelihara), yang bertugas memelihara dan melindungi segala ciptaan Brahman (Tuhan Yang Maha Esa). Wisnu di internal filsafat Hindu Waisnawa dipandang seumpama roh kudus, sedarun batara yang terala.

Pengaruh agama Hindu mencapai Nusantara diperkirakan sejak abad ke-1. Perkembangan pesat agama Hindu diikuti dengan berdirinya banyak kekaisaran bercorak Hindu ketika itu. Beberapa kerajaan nan berdiri sekitar abad ke-4, ialah Kerajaan Kutai Martapura di Kalimantan Timur, Tarumanagara di Jawa Barat, Kerajaan Kalingga di Pantai Utara Jawa Tengah, dan Kerajaan Bedahulu di Gianyar.

Adapun kekaisaran Hindu bersejarah di Nusantara yang menonjol adalah Kerajaan Medang karena dikenal membangun Candi Prambanan. Sejak itulah, agama Hindu kemudian menyerak bersama dengan Buddhisme di seluruh Nusantara dan mencapai puncak pengaruhnya pada abad ke-14.

Berikut penjelasan dari lima kerajaan Hindu nan koneksi berdiri di Nusantara dan mempunyai pengaruh osean pada tahun kejayaannya.


1. Imperium Kutai Martapura

Epigraf Yupa.

Menurut kajian nan dilakukan maka dari itu Muhammad Sarip (2021) kerumahtanggaan bukunya berjudul
Kerajaan Martapura dalam Literasi Album Kutai 400–1635, kekaisaran Hindu tertua di Nusantara merupakan Martapura (enggak Martadipura) di Kecamatan Muara Kaman, bukan Kutai Kertanegara (berdiri abad ke-14). Hal itu didasarkan bersumber Prasasti Yupa atau monumen prasasti yang ditemukan dua tahap, merupakan hari 1879 dan 1940.

Yupa berjumlah tujuh buah itu mayoritas menceritakan kemakmuran tahun Mulawarman. Kini, ketujuh batu Yupa tersebut makmur di Museum Nasional. Akan halnya kitab klasik berjudul
Tindasan Salasilah Sultan privat Negeri Kutai Kertanegara
setebal 132 halaman berpunca tahun 1849 adalah perigi autentik buat penulisan sejarah Kekaisaran Kutai Kertanegara.

Kitab tersebut ditulis oleh Khatib Muhammad Thahir, seorang Banjar yang menjadi penyadur Kekaisaran Kutai Kertanegara. Kitab ini beraksara Jawi (teksnya menggunakan huruf Arab, sedangkan bahasanya Melayu). Kitab ini dapat menjadi sumber sejarah dengan menyediakan episode dongengnya, meskipun tergolong susastra yang bercampur dengan mitologi pengagungan. Naskah tulus kitab itu masa ini disimpan di Perpustakaan Negeri Berlin, Jerman.

Temuan tujuh biji pelir Yupa menjadi awal pengungkapan kerajaan tertua Nusantara. Berdasarkan penjelasan dari Sarip, cak semau tiga nama terkenal di Kekaisaran Kutai Martapura yang disebut di dalam Yupa. Pertama, Kundungga (tidak Kudungga) yang makanya kaum brahmana Hindu waktu itu ditulis laksana ayah pembangun imperium, bukan sinuhun pertama.

Kedua, Aswawarman putra Kundungga, paduka tuan pertama Martapura. Ketiga, Mulawarman putra Aswawarman, raja termasyhur yang membawa kesuksesan Martapura hingga dapat berderma sapi sebanyak 20.000 ekor untuk kaum brahmana. Tidak ada catatan selanjutnya khalayak nan menjadi penerus Mulawarman.

Namun, Muhammad Fahmi (2016) melalui penelitiannya yang berjudul
Imperium Kutai Kartanegara ing Martadipura dan Peran Raja dalam Ekspansi Agama Selam di Imperium Kutai Abad ke-17 dan 18
menyebutkan penguasa Kekaisaran Kutai Martapura antara lain:

  • Maharaja Kundungga Anumerta Dewawarman;
  • Maharaja Aswawarman;
  • Maharaja Mulawarman;
  • Maharaja Sri Aswawarman;
  • Maharaja Marawijayawarman;
  • Maharaja Gajayanawarman;
  • Maharaja Tunggawarman;
  • Maharaja Jayanagawarman;
  • Maharaja Nalasingawarman;
  • Maharaja Nala Parana Tungga;
  • Maharaja Gadinggawarman Batara;
  • Maharaja Indrawarman Dewa;
  • Maharaja Sanggawarman Betara;
  • Maharaja Candrawarman;
  • Maharaja Prabu Mula Tungga Dewa;
  • Maharaja Nala Indra Dewa;
  • Maharaja Indra Mulyawarman Dewa;
  • Maharaja Sri Musykil Dewa;
  • Maharaja Kemujaraban Parana Dewa;
  • Maharaja Wijayawarman;
  • Maharaja Cingur Mulya;
  • Maharaja Sri Aji Betara;
  • Maharaja Indah Putera;
  • Maharaja Nala Pandita;
  • Maharaja Indra Paruta Batara;
  • Maharaja Dermasatia.

Lebih jauh,
Salasilah Kutai
lantas mengungkap proses runtuhnya Kerajaan Martapura dengan raja terakhirnya, Dermasatia. Sarip membahas di subbab distingtif mengenai peluasan yang dilakukan oleh Kutai Kertanegara tahun 1635 momen diperintah sunan ke-8, Aji Kaisar Sinum Panji Mendapa.

Pendek cakap, terjadi perang sejauh tujuh hari tujuh malam sampai dua syah bersemuka saling tikam, yang berujung kematian Dermasatia. Kekalahan Martapura ini menandai keruntuhannya, serempak pencaplokan kawasan oleh Kutai Kertanegara. Sejak itu, kerajaan jago melengkapi namanya menjadi Kutai Kertanegara ing Martapura.

Era Kerajaan Kutai sepatutnya ada berjarak tahun 1960, tetapi sejak 2001 dihidupkan lagi sebagai bentuk pelestarian sejarah dan budaya, tanpa adanya wewenang memerintah. Sangkil berlainan dari sebelumnya, kerajaan itu bernama Kutai Kartanegara ing Martadipura. Kartanegara dengan “a” bukan “e”, Martadipura bukan Martapura.

Tanya ini, Sarip tidak luput mengulasnya. Perihal Kartanegara, baginya tidak serupa itu fatal karena “Kartanegara” dan “Kertanegara” punya khasiat yang tetap sederajat. Namun lain halnya dengan Martadipura, yang tidak dapat dibenarkan karena mengubah tera dengan membilai suku kata nan bukan perlu.

Etiket Martadipura perumpamaan peralihan pecah alas kata Martapura baru muncul pada 1980-an. Bupati Kutai tahun 1965–1979, Ahmad Dahlan kuak, idenya berasal berpangkal Drs. Anwar Soetoen, seorang atasan Pemerintah Daerah Kabupaten Tingkat II Kutai.

Soetoen berpikiran bahwa antara kata “marta” dan “pura” terbiasa disisipkan introduksi depan “di” umpama pengubah “ing”. Menurutnya, kata depan “di” memiliki faedah yang sama dengan kata “ing” internal bahasa Jawa Kawi. Dahlan mengungkap kasus ini dalam bukunya tentang
Salasilah Kutai
yang dari tahun 1981.

Sarip di dalam bukunya turut ceratai kekeliruan nama Kundungga menjadi Kudungga, yang terlanjur mengakar sepanjang bilang hari terakhir. Tak kalah terdahulu, hasil kerja Sarip memunculkan pertanyaan akan halnya pengusulan museum di Tenggarong yang dinamai Mulawarman, tak Raja Batara Agung Batara Sakti sebagai pendiri Kutai Kertanegera, padahal museum ini ialah mantan istana Kutai Kertanegara, bukan martir rekaman Kutai Martapura.

Belum lagi ditambah patung Lembu Suwana yang memegang para pengunjung museum juga berpotensi mencadangkan anggapan kalau hewan itu tunggangan Yamtuan Mulawaman. Lembu Suwana sebenarnya adalah hewan mitologis tunggangan Aji Dewa Agung Dewa Pintar.

2. Imperium Tarumanagara

Tarumanagara maupun Kekaisaran Taruma yaitu sebuah kerajaan nan perhubungan berhak di wilayah barat pulau Jawa pada abad ke-5 hingga abad ke-7 M. Tarumanagara merupakan salah satu imperium tertua di Nusantara yang memencilkan goresan sejarah dan warisan artefak di sekitar lokasi kerajaan. Peninggalan-peninggalan itu memperlihatkan jika Tarumanagara merupakan kekaisaran Hindu sirkuit Waisnawa.

Kata
tarumanagara
berasal terbit pengenalan
taruma
dan
nagara.
Nagara
artinya imperium atau negara, sedangkan
taruma
berusul dari kata “tarum” yang yakni cap batang air yang membelah Jawa Barat, yaitu Ci Tarum. Temuan arkeologis yang berada di estuari Ci Tinta merupakan percandian yang luas, yaitu Percandian Batujaya dan Percandian Cibuaya, nan diduga yaitu kultur peninggalan Kerajaan Tarumanagara.



Prasasti Ciaruteun.

Salah suatu prasasti nan dijadikan sebagai sumber sejarah keikhlasan Kerajaan Tarumanagara adalah Batu bersurat Ciaruteun. Lokasi batu bertulis tersebut berada di Desa Ciaruteun, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor.

Epigraf ini ditemukan di persebaran Batang air Ciaruteun, Bogor pada 1863 dan terbagi menjadi dua bagian, merupakan Prasasti Ciaruteun A nan tertulis dengan leter Pallawa dan bahasa Sanskerta terdiri atas empat baris puisi India atau nada
anustubh
(nada yang ditemukan intern syair Veda dan Sanskerta klasik), serta Epigraf Ciaruteun B yang berisikan goresan telapak kaki dan motif galagasi yang belum diketahui maknanya.

Menurut juru kunci Prasasti Ciaruteun, huruf angka yang terdapat di batu bersurat tersebut menandakan Raja Purnawarman yang gagah perkasa dan berkuasa. Prasasti ini memiliki ukuran panjang 2 meter, strata 1,5 meter, dan berbobot 8 ton.

Alih abjad dari prasasti ini sebaagai berikut.

Baris pertama:
vikkrantasya vanipateh

Baris kedua:
srimatah purnnavarmmanah

Jejer ketiga:
tarumanagarendrasya

Baris keempat:
visnor=iva padadvayam ||

Artinya adalah sebagai berikut.

Inilah sejodoh (bekas kaki) tungkai, nan sama dengan (telapak kaki) Dewa Wisnu, yaitu telapak kaki Nan Mulia Purnnawarman, raja di negara Taruma (Tarumanagara), raja nan kosen berani di dunia”.

Beralaskan wanti-wanti yang terletak di Prasasti Ciaruteun, dapat diketahui bahwa prasasti ini dibuat pada abad ke-5 dan menginformasikan bahwa saat itu terdapat Kerajaan Tarumanagara, yang dipimpin oleh Paduka tuan Purnawarman yang memuja Dewa Wisnu.

Kekaisaran Tarumanagara telah dipengaruhi maka dari itu kebudayaan India, nan dibuktikan dengan nama aji yang berakhiran -warman dan tapak kaki yang menandakan kuasa pada zamannya. Sreg 1863, epigraf ini sempat hanyut diterjang air sebak, sehingga catatan yang suka-suka menjadi terbalik, kemudian pada 1903 batu bertulis ini dikembalikan ke bekas semula. Barulah pada 1981, prasasti ini dilindungi.

Sumber berita tak yang membuktikan berdirinya Kerajaan Tarumanagara berasal berpunca berita Tiongkok, substansial catatan perjalanan Fa-Hien (penjelajah mulai sejak Tiongkok) dalam tulang beragangan kunci dengan judul
Fa-Kuo-Chi,
nan menyebutkan bahwa puas tadinya abad ke-5 M banyak turunan brahmana dan animisme di Ye-Po-Ti (sebutan bagi Javadwipa, tetapi suka-suka pendapat enggak yang menyatakan sekiranya Ye-Po-Ti merupakan Way Seputih di Lampung).

Puas 414, Fa-Hien datang ke tanah Jawa untuk membentuk tulisan sejarah Kerajaan To-lo-mo (Kerajaan Tarumanagara) dan singgah di Ye-Po-Ti selama 5 bulan. Selain itu, berita Dinasti Sui menuliskan bahwa utusan To-lo-mo mutakadim menclok dari sebelah kidul plong 528 dan 535.

Berita Dinasti Tang selanjutnya menuliskan bahwa utusan To-lo-mo sudah lalu datang puas 666 dan 669. Berdasarkan berita-berita tersebut, bisa diketahui bahwa Kerajaan Tarumanagara berkembang antara tahun 400600, yang ketika itu dipimpin maka itu Purnawarman dengan wilayah supremsi intim seluruh Jawa Barat.

Adapun raja-raja yang pernah memerintah Kerajaan Tarumanagara antara lain:

  • Jayasingawarman (358382);
  • Dharmayawarman (382395);
  • Purnawarman (395434);
  • Wisnuwarman (434455);
  • Indrawarman (455515);
  • Candrawarman (515535);
  • Suryawarman (535561);
  • Kertawarman (561628);
  • Sudhawarman (628639);
  • Hariwangsawarman (639640);
  • Nagajayawarman (640666);
  • Linggawarman (666669).

3. Kerajaan Bedahulu

Rajut Samuan Tiga merupakan peninggalan Kerajaan Bedahulu.

Kerajaan Bedahulu atau Kerajaan Pejeng yakni kerajaan historis di Pulau Bali yang merembas antara abad ke-8 sampai abad ke-14. Kunci kerajaannya mewah di selingkung Pejeng ataupun Bedulu, Kabupaten Gianyar, Bali. Pendirinya adalah Sri Kesari Warmadewa dari Dinasti Warmadewa.

Sejak pertama mungkin didirikan, kerajaan ini diperintah oleh bilang keluarga raja. Semata-mata, pergantian antara satu keluarga kaisar ke anak bini sultan lainnya tidak disebutkan dengan jelas dalam prasasti yang ditinggalkannya. Salah suatu kanjeng sultan nan tenar adalah Raja Udayana pecah Dinasti Warmadewa, nan berhak antara 9891011.

Ketika Dinasti Warmadewa berhak, agama pertama yang berkembang di Bali adalah Buddha. Barulah pada hari lebih lanjut rakyat Bali memeluk agama Hindu. Imperium ini diketahui pernah dikuasai oleh Singasari pada abad ke-10 dan Majapahit plong abad ke-14. Ketika Majapahit berbuat ekspansi pada 1347, barulah kekaisaran ini akhirnya turun.

Bilang prasasti nan ditinggalkan makanya Kerajaan Bedahulu antara lain:

  • Prasasti berkerangka musim 882 yang mandraguna tentang kasih belas kasihan kepada para biksu lakukan membuat pertapaan di Bukit Kintamani, sekadar prasastiini tak menamakan nama rajanya;
  • Batu bertulis berduri periode 896 dan 911 yang menyebut puri ratu di Singhamandawa. Diperkirakan Singhamandawa terletak di antara Kintamani (Danau Batur) dan Pantai Sanur (Blanjong), yaitu sekitar Tampaksiring dan Pejeng;
    Prasasti semacam tugu di Desa Blanjong, dekat Sanur yang berkerangka tahun 914. Prasasti itu menamai raja yang memerintah bernama Yang dipertuan Kesari Warmadewa.

4. Kerajaan Nasi-nasi

Catatan awal Kerajaan Medang ada kerumahtanggaan batu bertulis Canggal (732), nan ditemukan di dalam kompleks Candi Gunung Wukir di Dusun Canggal, barat taktik Kabupaten Magelang. Batu bersurat ini ditulis privat bahasa Sanskerta dan menggunakan abjad Pallawa. Isinya menceritakan tentang kaidah Siwalingga (lambang Siwa) di daerah Kuñjarakuñjadeça (Kunjarakunja), yang terletak di pulau bernama Yawadwipa (Jawa) yang diberkahi dengan banyak beras dan emas.

Pembentukan lingga mampu di bawah perintah Sanjaya. Prasasti ini menceritakan bahwa di Yawadwipa dahulu diperintah maka itu raja Sanna, nan bijaksana, objektif dalam tindakannya, perwira n domestik persabungan, bermurah hati kepada rakyatnya. Sehabis mangkatnya Sanna negara berkabung, runtuh dalam perpecahan. Pengalih Sanna adalah putra Sannaha (saudara perempuannya) yang bernama Sanjaya. Sanjaya menjinakkan daerah-daerah di sekitar kerajaannya dan pemerintahannya yang bijak menganugerahi tanahnya dengan kesentosaan dan kemakmuran kerjakan semua rakyatnya.

Kisah Sanna, Sannaha, dan Sanjaya pun dijelaskan dalam Carita Parahyangan, sebuah naskah yang disusun sekitar pengunci abad ke-16. Secara garis besar, kisah dari naskah Carita Parahyangan memiliki kesamaan tokoh dengan Prasasti Canggal.

Lamun pertinggal itu tampaknya didramatisasi dan enggak memberikan perincian tertentu akan halnya hari tersebut, belaka label dan tema cerita yang hampir persis dengan Batu bertulis Canggal tampaknya menegaskan bahwa manuskrip tersebut didasarkan atas hal sejarah.



Candi Prambanan.

Periode pemerintahan Rakai Panangkaran ke Dyah Balitung (rentang antara 760–910) yang berlangsung selama 150 perian, menjadi indikator puncak kemajuan dari peradaban Jawa historis. Lega periode ini marak munculnya seni dan arsitektur Jawa bersejarah, seperti sejumlah candi dan monumen megah didirikan menghampar n dataran Kedu dan lembang Kewu. Candi yang minimal terkenal merupakan Candi Seribu dan Prambanan.

5. Kerajaan Kalingga

Kerajaan Kalingga ataupun Kerajaan Ho-ling (menurut sumber-sumber Tiongkok) merupakan kerajaan bercorak Hindu-Buddha yang purwa muncul di pesisir lor Jawa Perdua pada abad ke-6 Masehi, bersamaan dengan Kerajaan Kutai dan Tarumanagara.

Keunggulan Ho-ling diperkirakan muncul puas abad ke-5 (kemudian disebut Keling) yang diperkirakan terdapat di paksina Jawa Paruh. Keterangan tentang Kerajaan Ho-ling didapat berpangkal catatan berusul Tiongkok. Pada 752, Kekaisaran Ho-ling menjadi daerah taklukan Kerajaan Sriwijaya dikarenakan kerajaan ini menjadi penggalan jaringan perniagaan, bersama Kerajaan Melayu dan Kerajaan Tarumanagara, yang sebelumnya telah ditaklukan Sriwijaya. Ketiga kerajaan tersebut menjadi pesaing kuat jaringan perbelanjaan Sriwijaya.

Nah, itulah informasi mengenai
5 Kerajaan Hindu Tersohor di Indonesia. Sejarah Nusantara pada era Kerajaan Hindu-Buddha berkembang karena perpautan dagang daerah Nusantara dengan negara-negara dari luar, sebagai halnya India, Tiongkok, dan kewedanan Timur Tengah. Sejak masuknya agama Hindu dan Buddha, awam prasejarah Nusantara yang sebelumnya memiliki kepercayaan animisme dan dinamisme beralih memeluk agama Hindu dan Buddha.

BACA JUGA:

  • Pendiri Imperium Kutai: Sejarah, Perian Kejayaan, dan Peninggalan
  • Pendiri Kerajaan Majapahit: Rekaman dan Raja Pertama
  • Pendiri Kekaisaran Singasari : Radiks-Usul dan Sejarah Singkat
  • Sejarah Pendiri Kerajaan Sriwijaya Beserta Silsilahnya
  • Sejarah Kerajaan Sunda dan Peninggalannya

ePerpus adalah layanan taman pustaka digital mutakhir nan mengusung konsep B2B. Kami hadir bakal melincirkan dalam mengurus perpustakaan digital Anda. Klien B2B Perpustakaan digital kami menutupi sekolah, universitas, korporat, sampai tempat ibadah.”

logo eperpus

  • Custom batang kayu
  • Akses ke ribuan buku berpunca penerbit berkualitas
  • Kemudahan dalam mengakses dan mengontrol perpustakaan Engkau
  • Cawis dalam tribune Android dan IOS
  • Tersedia fitur admin dashboard lakukan mengawasi deklarasi analisis
  • Laporan statistik pola
  • Aplikasi tenang dan tenteram, praktis, dan efisien

Source: https://www.gramedia.com/literasi/kerajaan-hindu-tersohor-di-indonesia/

Posted by: gamadelic.com