Cerpen Tentang Menggapai Cita Cita


Story by: Adies Caesarian


XI-IIS 1

Pagi yang cerah di halaman sekolah. Kicauan burung yang merdu mulia bersaut-sautan, dengan hembusan angin sejuk di pagi waktu membuat suasana bertambah menyenangkan kerjakan membiasakan.  Ada hal yang berbeda hari ini, aku merasakan semangat yang asing normal karena jam mula-mula ini kemudian hari Bu Endang mengajar Bahasa Indonesia. Aku sangat menyukai beliau karena selain pintar Bu Endang juga baik hati dan asyik untuk diajak beranggar pena.

Berpangkal Bu Endang aku banyak mendapatkan asam garam berguna. Di tengah distribusi globalisasi yang melanggarkan perahu moralitas bangsa, Bu Endang selalu mengingatkan kepada peserta-muridnya untuk tetap menjaga mental bak bangsa timur dengan menghindari sikap individualistis. Generasi ketika ini mulai menyingkir kaidah gotong royong dan tolong menolong. Dari danau aku mempunyai penilaian seandainya Bu Endang mempunyai wawasan kebangsaan yang luas dan menginginkan murid-muridnya tegar menjadi generasi nan bisa menjaga sifat ketimuran

Suasana pagi ini dulu sepi, kritik Bu Endang memecahkan kesunyian.

“Anak asuh anak hari ini kita akan mengomongkan tentang cita-cita.” Ucap Bu Endang.

“Tuliskan apa yang kalian cita-citakan beserta  alasan mengapa kalian mau menjadi seperti itu. Apakah dimengerti?”

            Kami semua mengangguk. Aku mengambil selembar kertas dan menuliskan cita-citaku dan alasanku. Aku kepingin menjadi seorang hakim di pidana. Alasanku menjadi sendiri hakim; permulaan, hakim adalah seorang penegak syariat. Kedua, Tuhan memberikan pahala yang lautan untuk hakim-hakim yang adil dan bijaksana. Ketiga, hakim mendapat kehormatan yang tinggi di masyarakat. Kendala menjadi wasit di Indonesia pasti bukan ringan, tapi aku tak peduli bagaimana komentar orang mengenai situasi keseimbangan di negeri ini, aku akan terus berjuang menjadi hakim yang adil.

Cukup sudah aku menulis. Aku mengaji lagi tulisanku di seketul kertas asli ini dan tersenyum lega. Insya Allah suatu saat lusa, keinginanku menjadi juri akan terwujud. Selesai, aku segera mengumpulkan kertas itu pada Bu Endang.

Dua hari berikutnya, bu Endang memasuki kelasku pada jam kursus Bahasa Indonesia, engkau membagikan lempengan-lembaran daluang nan weduk cita-cita itu pada kami.
“Astuti.” panggil bu Endang.

Dengan senyum yang lebar, aku berjalan mantap ke arah kamu, dan mengambil sekerat jeluang milikku. Tapi, betapa terkejutnya aku saat menyibuk sebuah goresan tinta merah di bawahnya.




“Cita-citamu sesak tinggi, Astuti. Jangan kamu lupa, kamu anak asuh sendiri pemulung, menjadi seorang hakim? Mana mana tahu?” aku menyerobot ludahku sendiri. Wajah hawa itu kutatap tajam, guru nan sangat aku hormati. Sebegitunya beliau? Layakkah Pantaskah sendiri pendidik merendahkan impian muridnya? Tidak layakkah seorang anak miskin, anak asuh pemulung seperti aku bercita-cita sebagai sendiri hakim?




“Arketipe pikirmu harus dirubah, Astuti! Kamu bertaruk di kampung kumuh di antara orang-fakir. Sekolah sahaja tanpa biaya, mana bisa membayar mahal untuk kuliah hukum?” hardik Bu Endang, sekali juga ia merendahkanku.

Sontak aku menyepak meja di depanku, keras sekali, aku lari menghambur keluar kelas. Aku enggak butuh guru macam itu!

“Satu musim kemudian hari, lihat tetapi, aku akan buktikan kalau aku bisa menjadi seorang juri! Dengan izin Halikuljabbar, duafa sama dengan aku akan berkecukupan menjadi juri!”

Memang, aku terlahir di sebuah rumah reyot di tengah-perdua lingkungan kotor, aku terlahir di antara puluhan puluhan setangga yang berkedut, lebih lagi ratusan cucu adam yang kurang berbahagia. Inilah spirit kaum marjinal. Enggak banyak bani adam peduli dan belaka melihatku dengan jihat mata.

Pelecehan yang dilakukan sosok semacam bu Endang sebetulnya sudah lalu buruk perut kuhadapi, pil yang menjadi kemarahan di kelas tadi karena aku malu dan kecewa. Kalimat yang menyakitkan keluar dari mulut seseorang yang aku kagumi – ternyata aku riuk menilainya.

Ayahku buruk perut berpetaruh padaku 5 hal untuk mencari cita-citaku; mula-mula, lakukan yang terbaik yang aku bisa detik ini dan lain bisa menunda pekerjaan yang berlimpah dilakukan; kedua, aku harus panjang usus karena kemenangan terlazim proses karena lain ada yang instan di dunia ini; ketiga, percayalah pada kemampuan diri seorang dan jangan membandingkan barang apa yang mutakadim dimiliki orang enggak; keempat, jangan berpikir dalam-dalam subversif; dan yang kelima, harus cak acap fokus pada pada maksud dan cita cita kita.

Pengembaraan individu tak persaudaraan sama – aku selalu sadar. Inilah hidupku nan senyatanya kuhadapi sehari-hari. Sepulang sekolah kondusif di lapak ayah dan kutat dengan barang-barang rongsok, sore waktu membantu ibu mengerjakan pegangan rumah dan malam membantu adik-adik belajar.

Mereka bukan aku, aku lain seperti mereka. Aku tidak bisa dengan sesuka hati mohon tip ayah cak bagi membeli barang-barang nan tidak diperlukan, kronologi-jalan ke mal belanja ini dan itu. Kedua orangtuaku hidup dengan segala keterbatasan ekonomi, mengirim anak asuh-anaknya sekolah dengan perjuangan berkeringat dan mengalir air ain. Tapi aku tetap bersyukur memiliki orangtua yang bijaksana dan penuh buruk perut kasih.

Komentar bu Endang tentang cita-citaku tadi, aku berjanji akan membayarnya lunas dengan kerja kerasku yang akan menjadikan aku seorang penengah! Tak ada nan bisa mengejekku! Tidak ada nan boleh mengotorkan impianku! Akan aku buat semua orang yang meremehkanku menyesal sudah lalu melakukan itu padaku! Aku berjanji!

——- **** ——

Sore ini langit dahulu sensasional kilap mengiring terbenam matahari yang hangat dan penuh kelembutan. Jiran sebelahku sedang menerima kunjungan seorang dokter karena ia ngilu gentur. Aku menjenguknya mengoper ayahku yang sibuk di lapaknya. Anda seorang bibit buwit tua nan baik lever, privat keterbatasan fisiknya terpancar jiwa yang penuh ketenteraman. Namanya Mbah Ridwan, ia dulu tinggal lestari dan cerbak membagi-bagikan rezeki plong para tetangga termasuk keluargaku. Kami lewat akrab dengannya.

Mbah Ridwan memiliki 3 hamba allah anak, kabarnya anak asuh-anaknya sangat sukses kehidupannya. Yang purwa adam sekarang menjadi seorang perwira polisi di Jakarta, yang kedua putri menjadi instruktur universitas negeri di Bandung dan yang anak bungsu menjadi mantri yang praktek di beberapa flat sakit di daerah tingkat ini. Aku masih pulang ingatan betul mantri yang madya memeriksa Mbah Ridwan adalah putranya sendiri, kalau tidak pelecok namanya Om Ahmad.

Setelah selesai menginvestigasi Mbah Ridwan, dokter Ahmad duduk di ruang tamu tepat kaya di depanku. Beliau tersenyum padaku, “Astuti centung? Kamu sekarang sudah raksasa ya” begitu sapanya ramah. “Iya Om Ahmad” jawabku dan balik bertanya, “Segala pemberitaan Oom? Kok sukar nengok Teteh Ridwan?”

“Iya, aku baru saja pulang dari pengabdian di luar pulau. Aku bau kencur saja kembali setelah mengajukan surat mengimbit, Alhamdulillah sejak ahad ini aku boleh nunggu bapak yang semenjana ngilu,” tutur Om Ahmad.

Aku penasaran dengan putra kuntum Mbah Ridwan yang sangat sukses kehidupannya, aku mencoba bertanya pada Om Ahmad. Kamu memandangku dengan mata yang berkaca dan menceritakan masa kecilnya padaku.

“Kamu tentu ingat, Astuti, kami dulu roh melarat. Ibu kami meninggal ketika kami bertiga masih kecil, Mbah Ridwan adalah tulang punggung keluarga. Anda pegawai rendahan di kantor pos dan sepulang sekolah kami bertiga berwarung.” ceritanya. “Kedua kakakku berdagang gorengan di depan apartemen ini, Alhamdulillah laris sekali. Dan aku kontributif Cangkang Haji depan kampung itu mengantar patra tanah pesanan para pelanggannya. Kami menabung semua penghasilan bakal biaya sekolah, sedang gaji bapak untuk biaya makan sehari-musim,” tutur Om Ahmad termangu-mangu memandang foto-foto keluarga yang terbentang di dinding rumahnya.

“Bagaimana Mamak Ahmad dan kedua kakaknya sampai bisa sukses sebagai halnya sekarang ini?” tanyaku. “Bapak mengajari kami buat selalu gigih berburu cita-cita, tidak boleh gembeng dan putus asa. Kami belajar di malam dan pagi masa dan selalu sembahyang. Hingga pada saatnya kami menyelesaikan studi dan sekarang kami dapat kontributif kiai,” jelasnya bermati-mati. Kupikir ini kesempatan nan baik bagi menanya puas orang sukses sebagaimana Mamak Ahmad, “Om Ahmad, apa pada saat berjuang berburu cita-citanya cak semau pihak-pihak nan melecehkan atau meremehkan?” Beliau memandang mataku dengan tajam, “Astuti…, tidak ada hal nan mudah di dunia ini. Saat kami masih sekolah dan kekurangan biaya, banyak berasal keluarga bapak dan ibu bukan mau mendukung malah melecehkan,” ungkap Om Ahmad serampak menggelandang napas privat-dalam. “Tapi yakinlah Tuhan cinta bersama orang-sosok tabah yang doyan berkreasi!” lanjut beliau.

Kalau saja aku tidak sipu, pasti aku akan menangis terharu mendengar penuturan Om Ahmad. Mantri muda yang mengawali semuanya dari pangkal – minus malah. Aku malu terhadap diriku seorang, mengapa aku harus murka saat Bu Endang menghinaku di depan inferior. Aku tak akan sekali-kali marah maupun mengeluh jika terserah orang yang melecehkan, karena aku punya status dan berpengharapan Tuhan akan menolongku.

Insya Allah aku tetap mengejar cita-citaku menjadi hakim penegak keadilan di negeri ini, dan besok kalau berhasil aku akan ki belajar kesederhanaan Mbah Ridwan. Dengan persen order dari putra putrinya, Mbah Ridwan teguh umur sangat sederhana sebatas menolak ajakan putra putrinya lakukan pindah ke perumahan real estat rani. Sira kukuh nyaman spirit di kampung kumuh bersama-setara kami.

Adzan maghrib sudah lalu bertalun-talun, bukan terasa obrolanku dengan Oom Ahmad sudah lebih dari 1 jam. Periode berangkat gelap, aku pun mohon diri dan menyampuk tangan beliau. Aku berjalan menuju rumah dengan banyak hal di benakku, Om Ahmad membuat aku termotivasi. Setiba di rumah, aku meluluk ayahku duduk bermalas-malasan bersama ibu di ruang tamu kecil. Mereka menemani adik-adikku membiasakan.

Shalat maghrib telah usai kutunaikan, segera aku duduk bersama adik-adikku dan masuk belajar bersama mereka. Dengan senyum penuh kasih, ayah dan ibu mengemplang bahuku seraya bertutur, “Selamat membiasakan, Nak!”

——- **** ——

Komentar:

Cerita engkau bagus, Adies. Sarat dengan pesan-wanti-wanti jiwa. Tetapi ini seperti bagian awal saja, dan belum selesai. Menggantung sekali, apakah cita-cita Astuti tercapai atau tidak? Hmm, Ibu rasa sira perlu menyelesaikannya setakat tuntas dan mengirimkannya ke wahana, bisa jadi. Kenapa bukan? Nyawa, ya! Terima kasih sudah mengetik dengan rapi 🙂

Source: https://bersastraindonesia.blogspot.com/2015/10/si-miskin-menggapai-cita-cita.html