Bacaan Doa Diantara Dua Sujud

DUDUK DIANTARA 2 Sujud

Penjelasan

Duduk diantara dua sungkem merupakan akur shalat.
([1])

Berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu mengenai basyar yang buruk shalatnya. Nabi berkata kepadanya :

ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا، ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا، ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا

Kemudian sujudlah sertai thuma’ninah ketika sujud. Kemudian bangkitlah dan duduk (antara dua sujud) disertai thuma’ninah. Kemudian sujud kembali sambil disertai thuma’ninah detik sujud.
([2])

Gerakan

Manajemen cara “duduk diantara dua sujud”

Nan dianjurkan terserah 2

Pertama: Duduk Iftirasy

Merupakan dengan membentangkan punggung suku kidal di lantai, dan mendudukinya, kemudian kaki kanan ditegakkan dan jari-jarinya menjurus kiblat.([3])
Sebagai halnya ditunjukan oleh keumuman hadits-hadits berikut nan menjelaskan mengenai sifat duduk Nabi intern sholat :

Abdullah bin Umarradhiallahu’anhu mengatakan:

من سُنَّةِ الصلاةِ، أنْ تنصِبَ القدمَ اليمنَى، واستقبالُهُ بأصابعِها القبلةَ، والجلوسُ على اليسرَى

Di

antara sunah

detik shalat merupakan menegakkan kaki kanan lalu menyayembarakan ganggang

ke arah kiblat dan duduk di atas suku kiri.


(

[4]
)

Maimunah istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertutur:

كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا سَجَدَ خَوَّى بِيَدَيْهِ – يَعْنِي جَنَّحَ – حَتَّى يُرَى وَضَحُ إِبْطَيْهِ مِنْ وَرَائِهِ. وَإِذَا قَعَدَ اطْمَأَنَّ عَلَى فَخِذِهِ الْيُسْرَى

Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam momen sujud membentangkan kedua tangannya sampai terlihat putih ketiaknya berpangkal arah bokong ia, dan sekiranya duduk maka kamu duduk dengan paha kirinya.
([5])

Kembali berdasarkan keumuman hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha ketika menanggali sifat shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Aisyah berkata

وَكَانَ يَفْرِشُ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَيَنْصِبُ رِجْلَهُ الْيُمْنَى، وَكَانَ يَنْهَى عَنْ عُقْبَةِ الشَّيْطَانِ

Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menyampaikan kaki kirinya mengangkat kaki kanannya dan melarang
‘uqbatus syaithan’
([6]).
([7])

Hadits-hadits diatas menunjukan bahwa jika Nabi duduk n domestik shalat maka beliau duduknya dengan iftirosy, kecuali duduk pada tasyahhud yang kedua, maka telah datang dalil yang mengkhususkan dan menunjukan bahwa ia duduknya dengan cara tawarruk.

Kedua:

Duduk

الإِقْعَاء
(
Iq’aa’
)

Selain duduk
iftirosy, ada kembali duduk yang disunahkan untuk terkadang dilakukan, yaitu duduk
iq’aa


(
[8]
)
. Sekadar teristiadat diketahui bahwa yang disebut dengan duduk
iq’aa’
itu terserah dua, yang satu disunnahkan dan yang lainnya dilarang. Yang disunnahkan maka tata kaidah duduknya -seperti dijelaskan maka dari itu para ulama-([9])
adalah dengan menegakkan kedua kaki lalu duduk dengan meletakan panta di atas kedua tumit, sementara ganggang tungkai menghadap ke kiblat.

Hal ini berdasarkan riwayat Abu Az-Zubair, bahwasanya anda pertalian mendengar Thawuus menanya kepada Ibnu Abbas -radhiyallahu ‘anhuma- tentang duduk
iq’aa’:

فَقَالَ: «هِيَ السُّنَّةُ»، فَقُلْنَا لَهُ: إِنَّا لَنَرَاهُ جَفَاءً بِالرَّجُلِ فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: «بَلْ هِيَ سُنَّةُ نَبِيِّكَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ»

Maka Ibnu Ábbas bercakap, “Itu yaitu sunah”. Thawus berkata:

Kami (sepanjang ini) menganggap itu adalah sikap (duduk) yang tidak pantas.
”, maka Ibnu Ábbas merenjeng lidah, “Justru itu

adalah

sunah Nabimu

–s
hallallahu ’alaihi

w
a sallam

.”([10])

Demikian pun riwayat dari Bani Úmar radhiallahu ánhuma :

أنَّه كان إذا رفَعَ رأسَه مِن السَّجدةِ الأولى يقعُدُ على أطرافِ أصابعِه، ويقولُ: إنَّه مِن السنَّةِ

“Bahwasanya beliau jika angot dari sungkem yang mula-mula, beliau duduk di atas ujung celah kaki beliau. Dan ia berkata, “Ini termasuk sunah.”

(

[11]
)

Adapun duduk
iq’aa’ yang

aspal
larang
(yang juga disebut dengan عُقْبَةِ الشَّيْطَانِ) maka para ulama berselisih pendapat perihal tata caranya, saja yang disepakati akan terlarangnya adalah :

أَنْ يُلْصِقَ أَلْيَتَيْهِ بِالْأَرْضِ وَيَنْصِبَ سَاقَيْهِ وَيَضَعَ يَدَيْهِ عَلَى الْأَرْضِ كَإِقْعَاءِ الْكَلْبِ

“Dia menempelkan pantatnya ke persil, menegakkan kedua betisnya, dan meletakan kedua tangannya di tanah begitu juga duduknya kera”
([12])

Bentuk
iq’aa’
enggak yang disebutkan oleh ulama yakni ;

جُلُوْسُ الإِنْسَانِ عَلَى إِلْيَتَيْهِ نَاصِبًا فَخِذَيْهِ

“Duduknya seseorang di atas pantatnya dengan menegakan kedua pahanya” (ialah minus menyebutkan kondisi kedua tangan sebagaimana plong bentuk sebelumnya).
([13])

Susuk iqáa (yang terlarang) yang tidak yang disebutkan oleh ulama diantaranya :

بِأَنْ يَفْرِشَ قَدَمَيْهِ وَيَجْلِسَ بِأَلْيَتَيْهِ عَلَى عَقِبَيْهِ

“Ia menghamparkan kedua kakinya (ialah ujung tangan-deriji kaki menumpu ke birit karena kedua kaki tidak ditegakkan dan jari deriji kaki bukan diarahkan ke arah kiblat) lalu menumpukan pantatnya di atas tumitnya.”
([14])

Lembaga iqáa nan lain adalah :

أَنْ يَفْرِشَ قَدَمَيْهِ عَنْ يَمِيْنِهِ وَيَسَارِهِ أَوْ يَنْصِبَهُمَا وَأَنْ يَجْلِسَ عَلَى أَلْيَتِهِ بَيْنَ قَدَمَيْهِ

“Dia membentangkan kedua kakinya di arah kanan dan kirinya, atau ia menegakan kedua kakinya, akan tetapi kamu duduk di pantatnya (di tanah) di antara kedua kakinya”
([15])

Dan ini adalah dudukiq’a yang dilarang, berdasarkan hadits Abu Hurairah –radhiyallahu’anhu-, ia merenjeng lidah:

أَمَرَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِثَلَاثٍ وَنَهَانِي عَنْ ثَلَاثٍ أَمَرَنِي بِرَكْعَتَيْ الضُّحَى كُلَّ يَوْمٍ وَالْوِتْرِ قَبْلَ النَّوْمِ وَصِيَامِ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَنَهَانِي عَنْ نَقْرَةٍ كَنَقْرَةِ الدِّيكِ وَإِقْعَاءٍ كَإِقْعَاءِ الْكَلْبِ وَالْتِفَاتٍ كَالْتِفَاتِ الثَّعْلَبِ

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mensyariatkan aku dengan tiga perkara dan melarangku semenjak tiga perkara.

Beliau memerintahkan aku untuk mengerjakan shalat

duha dua rakaat setiap hari,

shalat witir sebelum tidur, dan puasa tiga perian

sreg setiap bulan.

Temporer Beliau melarangku berbunga mematuk sama dengan patukan mandung

(enggak thuma’ninah ketika shalat
), duduk iq’a seperti duduk iq’a anjing, dan menoleh sebagaimana musang menoleh. ([16])

Pendirian-cara duduk nan abnormal tepat lainnya :

Posisi Kedua Tangan detik duduk diantara dua sungkem

Lain datang dalil khusus nan menjelaskan posisi kedua tangan tatkala duduk diantara dua sungkem. Yang nomplok yaitu dalil tentang kondisi tangan ketika duduk tasyahud. Maka para jamhur mengqiaskan kondisi tangan ketika duduk diantara dua sujud dengan kondisi kedua tangan tatkala duduk tasyahud(
[17]
). Yaitu
letak asisten congah di atas paha alias lutut kanan, sedangkan letak tangan kiri di atas paha alias lutut kiri, dengan posisi telapak tangan membentang, juga posisi lekukan sejajar dengan paha dan diletakkan di atas paha. Semua ini berlandaskan hadits-hadits berikut ini:

Hadits Abdullah kedelai Umar –radhiallahu’anhuma
, sira bercakap:

كان إذا جلَس في الصلاةِ، وضَع كفَّه اليُمنى على فخِذِه اليُمنى. وقبَض أصابعَه كلَّها. وأشار بإصبَعِه التي تلي الإبهامَ. ووضَع كفَّه اليُسرى على فخِذِه اليُسرى

“Jika Nabi Shallallahu ’alaihi Wa sallam duduk (tasyahud), beliau menaruh telapak tangan kanannya di atas pahanya nan kanan. Kemudian menggenggam semua jari tangan kanannya, kemudian berisyarat (menunjuk) dengan jari yang ada di sebelah jari induk jari (jari telunjuk). Dan beliau meletakkan tangan kirinya di atas paha kiri.”([18])

Dan juga hadits Waa’il bin Hujr –radhiallahu

’anhu

, ia berkata:

ثمَّ قعدَ وافترشَ رجلَهُ اليسرى ووضعَ كفِّهِ اليُسرى على فخذِهِ ورُكبتِهِ اليُسرى وجعلَ حدَّ مرفقِهِ الأيمنِ على فخذِهِ اليُمنى ثمَّ قبضَ اثنتينِ من أصابعِهِ وحلَّقَ حلقةً ثمَّ رفعَ إصبعَهُ

“… kemudian sira duduk dengan membentangkan suku kirinya, meletakkan tangan kiri di
atas paha dan lutut kirinya, memposisikan siku kanannya di atas paha kanannya, kemudian beliau menggenggam dua jarinya (jari kelingking dan jari manis), membuat pematang (dengan ujung tangan induk jari dan jari paruh), kemudian berisyarat (menunjuk) dengan jemari telunjuknya.”

(

[19]

)





Teks  Duduk Diantara Dua Sujud

Pertama

رَبِّ اغْفِرْ لِي، رَبِّ اغْفِرْ لِي

“Ya Yang mahakuasa ampuni aku, Ya Allah ampuni aku”.
([20])

Kedua

رَبِّ اغْفِرْ لِي، وَارْحَمْنِي، وَاجْبُرْنِي، وَارْزُقْنِي، وَارْفَعْنِي

“Ya Allah ampunilah aku, rahmatilah aku, cukupkanlah aku, berilah alat pencernaan dan tinggikanlah derajatku”.([21])

Ketiga

اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي، وَارْحَمْنِي، وَاجْبُرْنِي، وَاهْدِنِي، وَارْزُقْنِي

“Ya Halikuljabbar ampunilah aku, rahmatilah aku, cukupkanlah aku, berilah aku petunjuk, dan berilah kas dapur”.
([22])

Keempat

رَبِّ اغْفِرْ لِي، وَارْحَمْنِي، وَاجْبُرْنِي، وَارْفَعْنِي، وَارْزُقْنِي، وَاهْدِنِي

“Ya Allah ampunilah aku, rahmatilah aku, cukupkanlah aku, tinggikanlah derajatku, berilah nafkah dan petunjuk untukku”.
([23])

Kelima

اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي وَارْحَمْنِي وَاهْدِنِي وَعَافِنِي وَارْزُقْنِي

“Ya Allah ampunilah aku, rahmatilah aku, berikanlah aku petunjuk, selamatkanlah aku, dan berilah rezeki”.
([24])

Bacaan ratib-doa ini hukumnya adalah sunnah dan tak diwajibkan karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mengajarkannya kepada khalayak yang buruk shalatnya. Dan kadiah menyatakan tidak diperbolehkan memutuskan penjelasan mengenai sesuatu disaat membutuhkan akan penjelasan tersebut. Jikalau bacaan doa tersebut diwajibkan, maka karuan Rasul akan mengajarkannya kepada manusia yang salah shalatnya tersebut.
([25])

FOOTNOTE:

([1])
Menurut Jumhur Jamhur Malikiyyah, Syafi’iyyah, Hanabilah dan keseleo satu pendapat Hanafiyyah. (lihat: Hasyiyah As-Shawi ‘ala As-Syarh As-Shaghir 1/314, Al-Majmu’ Li An-Nawawi 3/437, Al-Mughni Li Ibni Qudamah 1/375, Hasyiyah Ibni ‘Abidin 1/464, At-Taaju Wal Iklil Li Mukhtashar Khalil 1/524). Ibnu Abdil Barr mengatakan: Duduk diantara dua sujud yaitu fardhu, bukan terserah pergesekan di dalamnya. (lihat: At-Tamhid Li Ibni Abdil Barr10/190). Al-Qarafi juga mengatakan: Duduk antara dua sujud, bawah diwajibkannya adalah perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan disepakati oleh jumhur ulama’ (Adz-Dzakhiirah Li Al-Qarafi 2/198)

([2])
HR. Bukhari no.6251, Muslim no.397.

([3])
Lihat Minhatul Khaliq Li Ibni Abidin 2/24 Syarhu Ma’ani Al-Atsar 1/261, Al-Majmu’ Li An-Nawawi 3/450, Al-Mughni Li Ibni Qudamah 1/376, 387 dan Kassyaful Qina’ Li Al-Bahutiy 1/392

([4])
HR. An Nasa’i no. 1158, di
protokoler
kan Al

Albani

([5])
H.R. Muslim no. 497.

([6])
adalah duduk iq’a yang dilarang, sebagaimana akan datang penjelasannya. (lihat: Syarhu An-Nawawi ‘ala Muslim 4/212)

([7])
H.R. Mukmin no.498.

([8])
Para ulama bersengketa tentang hukum duduk
iq’aa’
detik duduk di antara dua sujud menjadi dua pendapat :


Pertama

: Hukumnya disunahkan sama sekali, karena riwayat nan terbanyak adalah duduk iftirosy. Ini adalah pendapat sebagian Salaf (seperti Ibn ‘Abbas, Ibn Umar, Ibn Az-Zubair, Naafi’, Thaawus, dan

Mujahid), Asy-Syafii (tatap
al-Majmuu’, An-Nawawi 3/439), salah satu riwayat berasal Ahmad (tatap
al-Inshoof
2/67), al-Baihaqi (sebagamana dinukil oleh An-Nawawi n domestik
al-Majmuu’
3/438), al-Qodhi ‘Iyaadh (tatap
Ikmaal al-Mu’lim
2/459), Ibn As-Shalaah (seperti dinukil oleh An-Nawawi dalam
al-Majmuu’
3/439), dan dipilih oleh An-Nawawi. Dan inilah pendapat yang dipilih oleh Ibn Baaz, Al-Albani, dan para ulama nan tergabung kerumahtanggaan Komite Fatwa Arab Saudi, seperti mana beliau juga
diriwayatkan dari imam Ahmad. Namun privat riwayat lain beliau menyatakan bahwa beliau bukan akan melakukannya namun tidak juga mencelanya” (Lihat
Al

Mughni
1/376)


Kedua

: Hukumnya adalah makruh, dan ini pendapat yang dipilih oleh al-Khaththaabi, bahkan kamu berpendapat bahwa hadits Ibn Ábbas mengenai sunahnya
iq’aa’
sudah
mansuukh
(tatap
Maáalim As-Pangeran
1/209)

Namun yang kian kuat yaitu pendapat pertama, karena tidak ada dalil yang menunjukan tentang
mansuukh-nya
iq’aa’. (Lihat
Al-Majmuu’, An-Nawawi 3/439)

An-Nawawi mengatakan: Menggabungkan dua hadits Bani Umar dan Anak laki-laki Abbas kemudian hadits Abu Humaid dan Wa’il dan nan lain di dalam sifat shalat Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam dalam menjelaskan duduk iftirasy di atas tungkai kirinya menunjukkan bahwa engkau melakukan tak sekadar satu gerakan saja. Dalam suatu keadaan ia melakukan gerakan ini, dan sreg suatu keadaan lain beliau melakukan gerakan itu. Begitu juga sira membaca akta privat shalat, terkadang hierarki dan terkadang ringkas. Atau sebagaimana kamu berwudhu, sama sekali sekali cucian ataupun dua kali atau tiga kali. Ataupun seperti mana beliau thawaf terkadang berjalan dan kadang-kadang menaiki kendaraan. Alias sebagaimana kamu mendirikan shalat witir sekali-kali di sepertiga lilin batik yang pertama dan terkadang di medio malam dan terkadang di sepertiga malam yang terakhir. Dan kebiasaan beliau yang lain dan beraneka ragam. Dan beliau melakukan situasi itu karena beberapa tujuan: untuk menjelaskan rukhsah (keringanan) maupun bolehnya melakukan perkara tersebut, dengan melakukan sekali atau beberapa mana tahu, kemudian menganjurkan nan lebih utama diantara keduanya. Dan kesimpulannya adalah bahwa duduk iq’a yang dilakukan Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas dan Ibni Umar dan duduk ifitrasy yang diriwayatkan oleh Tepung Humaid keduanya selevel-setinggi disunnahkan. Semata-mata, riuk satu berpunca keduanya lebih masyhur, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Abu Humaid, karena dia meriwayatkannya dan dibenarkan oleh deka- orang sahabat dan yang diriwayatkan oleh Wa’il bin Hujr. Ini menunjukkan anjuran dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan yang makin diutamakan, meskipun duduk iq’a kembali juga disunnahkan. (lihat: Al-Majmu’ Li An-Nawawi 3/439)

([9])
Lihat
Al-Mughni Li Ibni Qudamah 1/524,
Al-Majmu’ Li An-Nawawi 3/439 dan Fathul Qadir Li Al-Kamal bin Al-Humam 1/410

([10])
HR. Mukmin no. 536

([11])
HR. At-Thabaraani kerumahtanggaan
al-Mu’jam al-Aws
a
th
no 8752 dan al-Baihaqi privat
As-Sunan al-Kubro
no 2843, dan disahihkan oleh al-Baihaqi, adz-Dzahabi, Ibn Hajar dalam
at-Talkhiish al-Habiir
(1/420), dan dihasankan oleh Al-Albani privat
Ashl Shifat as-Shalaah
2/803

([12])
Al-Minhaaj Syarh Sahih Mukmin
5/19  dan
Fathul Baari
1/175, dan ini merupakan nan dijelaskan makanya Abu Úbaidah Ma’mar bin al-Mutsanna dan Abu Úbaid al-Qaasim kedelai Sallaam. (Tatap
al-Minhaaj
5/19 dan
al-Istidzkaar
1/481)

([13])
Lihat
Syarh Paduka Ibni Maajah, Al-Mughlathaay.

([14])
Sebagaimana disebutkan oleh Ibn Daqiiq al-Íed dalam
Ihkaam al-Ahkaam
(1/236). Duduk ini mirip dengan duduk
iq’aa’
nan disyariátkan, sekadar doang sreg tata kaidah
iq’aa’
yang disunahkan kedua kaki ditegakkan sehingga jari-jari menghadap kiblat, sedangkan sreg duduk
iq’aa’
nan terlarang kedua kaki tidak ditegakkan, akan tetapi dihamparkan sehingga jari-deriji kaki enggak menghadap kiblat dan menumpu ke ke belakang.

([15])
Shifat Sh
a
laat An-Nabiy, Abdul Aziiz at-Thuraifi hal 134

([16])
HR. Ahmad no. 8106, dihasankan

maka dari itu

Al-Haitsamy
di
Al-Majma’
2/80

([17])
Lihat: Kassyaful Qina’ Li Al-Bahutiy 1/354.

([18])
HR. Muslim 1/408 no. 580

([19])
HR. An-Nasai 2/126 no. 889, disahihkan Al Albani internalSahih An Nasai

([20])
H.R. Ibnu Majah no.897, Abu Dawud no.874 dan dishahihkan oleh Al-Albani

([21])
HR. Ibnu Majah No. 898, dihasankan maka dari itu Al Arnauth

([22])
HR. At Tirmidzi No. 284, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Tirmidzi

([23])
HR Ahmad dalam sunannya 5/460 No. 3514

([24])
Misykatul Mashobih No. 900

Kandungannya:

Dalam doa-doa ini terkandung apa saja yang hamba butuhkan untuk kebaikan mayapada maupun akhiratnya, maka sepantasnya ketika kita mengucapkannya kita mengarifi makna-mana doa tersebut agar lebih bersungguh-sungguh ketika meminta.

Makna-makna nan terkandung dalam doa di atas adalah:

Mula-mula:
“Ya Allah ampunilah aku” yaitu ampunilah dosa-dosaku atau ampunilah kelalaianku n domestik kesetiaan. N domestik doa ini seorang hamba meminta agar terhindar dari kesengsaraan di bumi maupun di akhirat nan disebabkan dosa-dosanya alias karena kelalaiannya dalam menjalankan ketaatan.

Kedua:
“Rahmatilah aku” yaitu anugerah atau kasih sayang yang berasal pecah arah-Mu bukan karena amalanku. Ini adalah sesuatu nan sangat dibutuhkan di manjapada dan di alam baka. Di bumi meminta dengan kasih sayang-Nya agar senantiasa termasuk dalam hamba-hamba-Nya yang beriman nan shalih, di akhirat memohon dengan belas kasih sayang-Nya seyogiannya di masukkan ke dalam surga-Nya dan dijauhkan dari hukuman-Nya.

Ketiga:
“Berikanlah aku hidayah atau nubuat” untuk mengerjakan amalan yang shalih ataupun tetapkanlah aku di atas agama nan benar. Ini adalah bagi kemaslahatan akhiratnya, karena setiap orang nan di dunia ini Allah beri hidayah taufik agar tetap berpunya di atas urut-urutan bersusila serta  diberi kasih cak bagi bisa berbuat amalan-amalan shalih, maka itu yakni sebab keselamatan di akhirat jemah. Berpokok sini kita tahu bahwa kita sangat butuh mempersunting kepada Sang pencipta hidayah, karenanya kita diwajibkan dalam shalat cak bagi mendaras Al-Fatihah, yang di dalamnya terkandung permintaan hidayah kepada Allah.

Keempat:
“Selamatkanlah aku” dari berbagai bahaya di dunia dan alam baka ataupun dari kelainan yang lahir maupun batin. Karena meminta keselamatan lain saja saat kita hidup di bumi saja, bahkan sekali lagi kita harus meminta keselamatan pasca- mati bukankah saat ada plasenta kita yang mutakadim meninggal kita doakan baginya “allahummaghfir lahu, warhamhu, wa ‘aafihi….”.

Kelima:
“Berikanlah aku rezeki” adalah berupa makanan yang baik, rahim konkret taufik dalam menjalani ketaatan, maupun kandungan faktual derajat yang tahapan di alam baka. Dari sini kita luang bahwa rezeki enggak harus bersifat materi, karena semua yang Allah berikan adalah rezeki. Dan pula rezeki hakikatnya berasal berpangkal Allah, maka  kiranya kita meminta kepada Almalik bukan kepada yang enggak, Almalik Ta’āla berfirman:

إِنَّ الَّذِينَ تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ لَا يَمْلِكُونَ لَكُمْ رِزْقًا فَابْتَغُوا عِنْدَ اللَّهِ الرِّزْقَ وَاعْبُدُوهُ وَاشْكُرُوا لَهُ ۖ إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ

“Sesungguhnya apa nan kamu sembah selain Allah itu adalah ibadat, dan kamu membuat dusta. Sememangnya yang kamu sembah selain Tuhan itu bukan berpunya memberikan nafkah kepadamu; maka mintalah perut itu di sebelah Allah, dan sembahlah Anda dan bersyukurlah kepada-Nya. Hanya kepada-Nya-lah beliau akan dikembalikan.” (QS. Al-Ankabut: 17)

Keenam:
“Tinggikanlah derajatku” yaitu di bumi dan di akhirat.

Ketujuh:
“Cukupkanlah aku” diambil dari “جَبَرَ اللَّهُ مُصِيبَتَهُ” Allah mengganti musibahnya yaitu dengan menimpali barang apa yang telah hilang darinya maupun menggantinya.

(Lihat: Mirqotul Mafatih Syarhu Misykatil Mashobih 2/726)

([25])
Lihat: Al-Mughni Li Ibni Qudamah 1/362.

Source: https://bekalislam.firanda.com/2917-duduk-diantara-dua-sujud.html

Posted by: gamadelic.com